Suara.com - Berbagai pembenahan terkait upaya untuk mengatasi kemacetan lalu lintas telah dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Termasuk selama setahun Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono memimpin Jakarta.
Memasifkan penggunaan moda transportasi umum agar masyarakat beralih dari kendaraan pribadi merupakan upaya penting Pemprov DKI untuk mengatasi penyebab kemacetan di Jakarta. Karena itu, jalur Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT) terus dikembangkan. Bus Transjakarta serta angkutan kota Mikrotrans pun terus ditambah.
Saat ini, pemerintah tengah membangun MRT Fase 2 dari Bundaran HI hingga Ancol Barat. Dengan tersambung fase 2, total panjang jalur utara-selatan MRT menjadi 27,8 kilometer, dengan waktu tempuh perjalanan dari Stasiun Lebak Bulus ke Stasiun Kota sekitar 45 menit.
MRT Jakarta yang sudah beroperasi sejak 2019 ini dioperasikan secara otomatis, dengan sistem persinyalan atau sistem kendali kereta berbasis komunikasi CBTC (Communications Based Train Control). Jalur MRT Jakarta Fase 1 Lebak Bulus-Bundaran HI sepanjang 16 kilometer, melalui 13 stasiun, dengan kapasitas maksimal 1.900 penumpang.
Baca Juga: Harga Daging Sampai Gula Meroket Di Jakarta, PSI Desak Pemprov DKI Cepat Ambil Tindakan
Selain penambahan armada secara terus-menerus, PT Transportasi Jakarta atau Transjakarta juga berkomitmen untuk menghadirkan bus yang ramah lingkungan. Rencananya, hingga akhir 2023, akan tersedia 220 unit bus listrik.
Semua moda transportasi ini saling terintegrasi satu sama lain, sehingga pengguna bisa mencapai lokasi yang diinginkan dengan layanan yang aman, nyaman, dan ramah.
Kehadiran transportasi umum yang nyaman telah memengaruhi masyarakat seperti Indira (35), seorang karyawan bank BUMN di Jakarta yang lebih memilih menggunakan Transjakarta daripada diantar oleh suaminya menggunakan mobil. Dengan menggunakan Transjakarta dari Cipulir, Jakarta Selatan, ia dapat mencapai kantor dalam waktu hanya 35 menit.
"Kalau diantar suami, bisa 1,5 jam di jalan. Saya akhirnya naik Transjakarta, walaupun berdiri. Ketimbang duduk manis, tapi rugi waktu 1,5 jam," ujarnya.
Pengamat tata kota, Yayat Supriatna, memahami jika sebagian masyarakat mau menggunakan kendaraan umum.
Baca Juga: Atasi Krisis Air Akibat Kekeringan, Upaya Pemprov DKI Jakarta Diapresiasi
"Transportasi umum memberikan kenyamanan bagi para penggunanya. Penggunanya rata-rata anak muda yang masih belajar dan memulai dunia kerja yang naik KRL, MRT, atau Transjakarta," katanya.
Menurut Yayat, agar semakin banyak masyarakat yang mau menggunakan transportasi umum, sebaiknya ongkosnya ditinjau lagi.
"Penting agar ongkosnya dievaluasi untuk mereka yang harus beralih kendaraan beberapa kali. Mungkin tarif dapat diperiksa kembali agar angkutan umum dapat terintegrasi dengan harga yang terjangkau," tuturnya.
Usul Yayat tersebut sebenarnya telah dijalankan PT Jaklingko Indonesia dengan tarif integrasi. Penumpang MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan Transjakarta yang menggunakan tiga moda transportasi tersebut selama tiga jam hanya membayar maksimal Rp 10.000.
Di kesempatan terpisah, akademisi Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata serta Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menyatakan bahwa layanan transportasi umum di Jakarta sudah meningkat secara signifikan, sehingga sebanding dengan layanan transportasi di banyak kota metropolitan dunia.
Namun, ia menyayangkan, layanan tersebut tidak dibarengi wilayah pendukungnya, yakni Kota Bogor, Kota Tangerang, Kota Depok, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, serta Kabupaten Tangerang.
"Anggaran rutin tahunan bantuan dari Pemprov DKI Jakarta yang diberikan kepada Pemkab/Pemkot di Bodetabek bisa difokuskan untuk membenahi transportasi umum di masing-masing wilayah Bodetabek. Jadi, tidak punya alasan kesulitan fiskal. Tinggal sejauh mana komitmen kepala daerah di Bodetabek untuk sungguh-sungguh mau membenahi transportasi umum di wilayahnya," tegasnya ketika dihubungi Suara.com.
Untuk meningkatkan penggunaan transportasi umum, diperlukan partisipasi masyarakat dan kota-kota penyangga. Dengan melibatkan semua moda transportasi publik yang tersedia, masyarakat diharapkan akan lebih memilih angkutan umum daripada kendaraan pribadi yang menjadi penyebab kemacetan serta polusi udara di Jakarta.
Rekayasa Lalu Lintas
Selain memberdayakan transportasi umum, Pemprov DKI juga menangani masalah kemacetan dengan menerapkan rekayasa lalu lintas, antara lain:
- Penutupan putaran lalu lintas (u-turn) di 32 lokasi dan Sistem Satu Arah (SSA) di sebelas ruas jalan;
- Manajemen dan rekayasa lalu lintas jalan di 23 lokasi serta pengaturan fase dan waktu siklus lalu lintas di 21 lokasi;
- Perbaikan geometrik ruas jalan di 16 lokasi serta penertiban parkir, pedagang kaki lima, dan angkutan kota di empat lokasi;
- Monitoring kecepatan rata-rata di ruas jalan dengan penerapan ganjil genap;
- Monitoring kinerja lalu lintas saat penerapan Work From Home (WFH) Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov DKI Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta juga memberlakukan Sistem Ganjil-Genap yang merupakan pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan pelat nomor. Kendaraan dengan pelat nomor ganjil dapat melintas pada tanggal ganjil. Sebaliknya, kendaraan berpelat nomor genap dapat melintas pada tanggal genap.
Strategi penanganan lalu lintas ini telah membawa hasil yang positif, seperti yang terlihat dalam data Pemprov DKI Jakarta yang menunjukkan peningkatan rata-rata kecepatan lalu lintas di Jakarta. Jika pada Agustus 2022 rata-rata kecepatan berada di angka 25,3 km/jam, maka pada Agustus 2023 laju rata-rata lalu lintas di Jakarta meningkat menjadi 29,98 km/jam.