Suara.com - Mahasiswa Universitas Surakarta, Almas Tsaqibbirru menjadi topik perbincangan publik usai gugatannya dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Ternyata, Almas merupakan putra dari Ketua MAKI, Boyamin Saiman.
Suara.com sempat konfirmasi soal kabar tersebut. Ketika dikonfirmasi, Boyamin tidak mengelaknya.
"Aku hanya konfirmasi itu anakku," kata Boyamin saat dihubungi Suara.com, Senin (16/10/2023) malam.
Kendati demikian, Boyamin enggan berbicara lebih jauh soal gugatan yang dilayangkan putranya tersebut. Ia menyerahkan hal tersebut kepada pengacara yang mendampingi Almas.
Baca Juga: Gibran Jadi Cawapres Prabowo Usai Putusan MK? Jokowi: Penentuannya di Partai
"Selebihnya (silakan ditanyakan ke) lawyer karena hargai kerja-kerja lawyernya," ucapnya.
Almas menjadi satu-satunya penggugat Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal batas usia capres dan cawapres yang permohonannya dikabulkan sebagian oleh MK.
Pada permohonannya, Almas menganggap batas usia 40 tahun bagi capres dan cawapres mengakibatkan ketidakadilan karena objek permohonan memaksakan rakyat Indonesia untuk memilih presiden dan wakil presiden berdasarkan calon yang memenuhi kriteria usia yang sudah ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
Selain itu, Almas juga mengaku sebagai pengagum dari Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka. Sebagai warga Surakarta, ia melihat sosok Gibran bisa menumbuhkan perekonomian kotanya hingga 6,25 persen.
Pertumbuhan ekonomi di Surakarta, menurut Almas, melebihi dua kota besar yakni Yogyakarta dan Semarang. Meskipun baru 36 tahun, pemohon menganggap Gibran bisa membangun dan memajukan Kota Surakarta dengan kejujuran, integritas moral dan taat serta patuh mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara.
Baca Juga: MK Buka Peluang Gibran Ikut Pilpres, Jokowi Pilih Diam: Nanti Salah Pengertian
Dikabulkan Sebagian
MK mengabulkan sebagian atas permohonan dari pemohon seorang mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaibbbirru Re A terkait batas usia capres dan cawapres. Meski tidak mengubah minimal usia, namun MK menambahkan syarat yakni pernah atau sedang memegang jabatan yang diperoleh melalui pemilihan umum (pemilu).
Putusan dibacakan langsung oleh Ketua MK Anwar Usman di Gedung MK RI, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023). Berikut putusan yang dibacakan Anwar:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6109) yang menyatakan,"berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah"
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara RI sebagaimana mestinya.
Sebelumnya, MK sudah menolak permohonan gugatan dari PSI, jajaran kepala daerah hingga Partai Garuda mengenai hal yang sama.
Hakim Konstitusi, M Guntur Hamzah menegaskan, terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama. Namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama.
"Maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru. Artinya, putusan a quo serta merta mengesampingkan putusan sebelumnya," ujar Guntur.