Suara.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah gencar melakukan integrasi berbagai moda angkutan umum di Ibu Kota. Tujuannya untuk memberi kenyamanan kepada masyarakat dalam menggunakan transportasi publik.
Integrasi transportasi di Jakarta mencakup dari fasilitas hingga pembiayaan. Untuk pembiayaan, dengan menaiki Transjakarta, LRT Jakarta, dan MRT selama tiga jam hanya perlu membayar Rp 10.000 sekali perjalanan.
Suara.com pun menjajal langsung penerapan tarif integrasi ini dengan menaiki dua moda, yakni MRT dan Transjakarta. Rute yang ditempuh adalah Ciledug, Tangerang ke Balai Kota DKI, Jakarta Pusat.
Perjalanan dimulai dari Halte Transjakarta Puri Beta 2, Kota Tangerang, dengan naik bus koridor 13 kode L13E /L13C jurusan Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat. Pemberhentian pertama adalah halte Cakra Selaras Wahana (CSW), Jakarta Selatan.
Baca Juga: Viral Surat Kenaikan Tarif Layanan Royaltrans, Ternyata Tak Jadi Naik
Halte CSW merupakan salah satu pemberhentian Transjakarta yang terintegrasi dalam Stasiun Integrasi CSW. Di tempat ini, pengguna angkutan umum tidak hanya diberi akses mudah ke berbagai moda angkutan, tetapi juga tersedia sejumlah kafe dan tempat makan untuk beristirahat.
Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan dengan naik MRT Jakarta dari Stasiun ASEAN yang juga terhubung dengan CSW. Setelah perjalanan sekitar 20 menit, saya turun di Stasiun MRT Bundaran HI.
Terakhir, saya kembali menaiki bus Transjakarta non-BRT 1P rute Blok M-Senen ke IRTI Monas. Dari sini, saya berjalan kaki hanya sekitar lama menit, lalu sampailah di Balai Kota.
Berdasarkan perhitungan Suara.com, perjalanan keseluruhan memakan biaya Rp 9.000. Jumlah ini lebih murah ketimbang tarif reguler nonintegrasi yang mencapai Rp 14 ribu.
Untuk bisa mengikuti tarif integrasi ini caranya cukup mudah, yakni mengaktifkan kartu transportasi dengan menempelkan Kartu Uang Elektronik (KUA) ke salah satu perangkat di gerbang Stasiun MRT.
Baca Juga: Kurangi Emisi, Mesin Diesel Transjakarta Diubah Jadi Bus Listrik Mulai 2024
Rekan perjalanan Suara.com, Lydia, mengaku memilih tarif integrasi karena lebih murah. Ia juga merasa nyaman dengan fasilitas halte Transjakarta dan stasiun MRT yang terintegrasi.
"Saya kalau jalan suka lama, karena betah di CSW. Di situ banyak jajanan, bazar, sama kadang ada live music," tuturnya.
Pada kesempatan berbeda, Suara.com juga mencoba naik LRT Jabodebek yang baru diresmikan. Pemberhentian akhir LRT Jabodebek, Stasiun Dukuh Atas, terhubung dengan Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) Dukuh Atas. JPM ini menghubungkan lima moda angkutan, yakni MRT, LRT Jabodebek, Kereta Bandara Soekarno-Hatta, Kereta Rel Listrik (KRL), serta Transjakarta.
Fasilitas JPM Dukuh Atas pun menjadi tempat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Tak hanya makanan dan minuman, tapi ada pula pakaian hingga penawaran apartemen.
Kondisi JPM ini cukup ramai. Mayoritas penggunanya merupakan penumpang KRL dan MRT.
Romli (41), seorang pendatang dari Padang, Sumatra Barat yang melintasi JPM bersama keluarganya, mengaku terkesima menjajal fasilitas ini. "Ini padahal tempat (transit) bus, kereta gitu ya. Tapi keren kayak di bandara. Banyak yang jualan juga. Musalanya pun bersih," ujarnya.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dalam acara Hub Talk pada Jumat (29/9) lalu menjelaskan, kenyamanan pengguna transportasi merupakan prioritas utama dalam membangun sistem transportasi terintegrasi. Karena itu, Pemprov DKI Jakarta memberikan subsidi pembiayaan dengan bersinergi bersama pemerintah pusat.
"Nah, itu adalah satu cara kami dalam memberikan kenyamanan bagi warga di Jabodetabek. Hal ini bukan hanya dari fasilitas, tapi juga dari harga yang disubsidi pemerintah," kata Heru.
"Bagaimana dengan konsep (subsidi)-nya? Tentunya konsep itu berdasarkan perencanaan dari Kemenhub dan bersinergi dengan kami. Jadi, DKI Jakarta sebesar 51 persen, lalu Kemenhub sebesar 49 persen," lanjutnya.
Berdasarkan pembagian persentase itulah, lahir sinergi dalam merumuskan subsidi. Hingga muncul LRT yang saat ini proses kelanjutan pembangunannya terus berlangsung.
"Begitu juga dengan Transjakarta dan Kereta Api Indonesia (KAI), juga memberikan subsidi kepada warga yang ingin menggunakan transportasi itu," tutur Heru.
"Totalnya pada bagian ini sebesar Rp 3,5 triliun untuk keseluruhan, kalau masyarakat menggunakan Transjakarta. Jadi Rp 3.500 (ongkos Transjakarta saat ini) itu subsidi. Kalau nilai ekonomisnya bisa Rp 16.888. Artinya, pemerintah daerah concern bersama pemerintah pusat memberikan kenyamanan dan kemudahan terhadap transportasi Jakarta," ungkapnya.
Terkait JPM Dukuh Atas, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengapresiasi Pj. Gubernur Heru dan seluruh pihak yang terlibat dalam pembangunan fasilitas ini. "Ini menjadi bukti nyata upaya bersama mewujudkan pembangunan dan pengembangan konektivitas infrastruktur transportasi yang terintegrasi, aman, nyaman, serta selamat," papar Budi Karya saat meresmikan JPM Dukuh Atas.
Menhub Budi berharap pula, pembangunan JPM ini dapat menjadi percontohan bagi pengembangan infrastruktur transportasi yang mengedepankan sinergi. "Tidak mungkin kita membangun transportasi, tetapi tidak ada integrasi antarmoda. Maka jadikankan tempat ini menjadi massal dan menjadi percontohan bagi tempat-tempat lain" imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT MRT Jakarta Tuhiyat membeberkan, JPM Dukuh Atas dibangun atas penugasan dari Kementerian Perhubungan RI kepada MRT Jakarta. Pendanaannya menggunakan skema creative financing, yaitu tidak menggunakan APBD maupun APBN.
Jembatan sepanjang 235 meter ini merupakan salah satu bagian utama dalam pengembangan kawasan berorientasi transit (Transit Oriented Development/TOD) Dukuh Atas. Meskipun disebut jembatan, secara teknis konstruksi bangunannya bukanlah jembatan.
"JPM ini didesain sebagai bangunan selain untuk memenuhi kebutuhan lalu lintas pejalan kaki, juga berfungsi menghadirkan berbagai fitur lainnya, seperti gerai makanan dan minuman, hingga tempat tujuan wisata. Jadi, JPM ini dibangun dengan prinsip pengembangan konektivitas antarmoda, ruang publik inklusif, serta enriching urban experience, sehingga diharapkan dapat menjadi identitas dan tujuan baru perkotaan,” jelas Tuhiyat.
Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengapresiasi langkah Pemprov DKI dalam mengintegrasikan angkutan umum. "Ini sudah langkah bagus ya, secara prinsip kebijakan. Memang, integrasi ini di luar negeri, khususnya di negara-negara maju seperti di Eropa, sudah menerapkan sejak lama. Masyarakat tak perlu repot bolak balik tap kartu, bayar lagi berulang kali buat pindah angkutan," paparnyanya saat dihubungi Suara.com.
Namun, Djoko mengakui, minat masyarakat menggunakan tarif integrasi masih minim. Sebab, kebanyakan angkutan umum di wilayah penyangga belum menjangkau perumahan warga.
"Kalau Jakarta, oke lah cakupan angkutan umumnya kan sudah sampai 82 persen, sudah sampai perumahan juga. Cuma kan yang beraktifitas di Jakarta bukan hanya warga Jakarta saja," kata Djoko.
Selain itu, perlu ada peningkatan partisipasi angkutan umum lain di Jakarta, seperti LRT Jabodebek dan Kereta Commuter Indonesia (KCI), untuk terlibat dalam sistem tarif terintegrasi ini. Jika seluruh moda di Jakarta sudah berpartisipasi, maka masyarakat juga akan beralih dari penggunaan kendaraan pribadi.
"Seharusnya memang kan KCI dan LRT Jabodebek itu ikut juga di tarif integrasi. Harus ada satu badan yang menjadi induk pembayaran antarmoda ini," pungkasnya.