Suara.com - Akademisi Rocky Gerung mengkritik kondisi kebebasan berpendapat di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini disampaikan Rocky ketika dimintai keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam sidang ini Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanty duduk sebagai terdakwa. Dalam keterangannya, Rocky mengatakan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama menjabat tidak pernah menghalangi kebebasan publik untuk berpendapat.
Dia lalu menyinggung mengenai buku Gurita Cikeas, yang kemudian dibalas oleh Partai Demokrat lewat data.
"SBY tidak pernah menghalangi kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir akan dia bantah dengan pikiran dia, karena kontra Gurita Cikeas dibantah oleh Partai Demokrat dengan data yang lebih masuk akal," kata Rocky di PN Jaktim, Senin (9/10/2023).
Baca Juga: Zulhas Puji Gibran: Anak Muda, Sukses Jadi Walkot Solo dan Pantas Diusulkan Jadi Cawapres Prabowo
Sebaliknya, Rocky menilai kebebasan berpendapat di era Jokowi justru terpenjara lewat adanya UU ITE. Dia lalu menyinggung mengenai hasil riset Freedom House yang menyatakan kebebasan berpendapat era SBY lebih bermutu dibandingkan era Jokowi.
"Itu riset dunia yang kemudian dipakai, jadi itu memang biasa," ungkap Rocky.
Rocky kemudian menilai kebebasan era SBY lebih baik karena memilih mendengarkan pendapat kalangan akademisi. Sementara Jokowi, kata Rocky, lebih memilih menggunakan buzzer.
"Karena SBY di sekitar dia itu dia memelihara akademisi. Di sekitar Jokowi, dia memelihara buzzer itu bedanya," tutur Rocky.
Untuk diketahui, dalam sidang ini Haris dan Fatia didakwa oleh jaksa mencemarkan nama baik Luhut Binsar Pandjaitan.
Sebelumnya Jaksa menyatakan pernyataan Haris dan Fatia dalam sebuah video yang diunggah melalui akun YouTube milik Haris telah mencemarkan nama baik Luhut.
Video tersebut berjudul 'Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada1! >NgeHAMtam'. Hal yang dibahas dalam video itu adalah kajian cepat Koalisi Bersihkan Indonesia dengan judul 'Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya'.