Suara.com - Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dinilai menjadi ancaman baru bagi penghayat kepercayaan. Aturan ini masih mempersulit pendirian rumah ibadah, dan ada gejala sentralisasi ala Orde Baru.
PEMERINTAH diminta tidak terburu-buru menyelesaikan Rancangan Perpres PKUB untuk disahkan. Sebaliknya, banyak pihak meminta draf yang ada dikaji kembali karena problematik.
Setidaknya, dari 36 pasal yang termuat di dalamnya, terdapat dua garis besar persoalan yang hingga kekinian dikritik terutama oleh kelompok rentan, aktivis hak asasi manusia, serta akademisi.
Persoalan pertama adalah, tidak adanya pasal yang menyebut rancangan perpres tersebut akan ikut mengatur aliran kepercayaan. Hal ini dinilai semakin mendiskriminasi kaum penghayat.
Baca Juga: Dampingi Putrinya Wisuda, Wakil Presiden RI Berharap Jebolan UI Bisa Sebarkan Nama Baik Bangsa
Masalah kedua—yang tak hanya terkait kaum penghayat tapi juga kelompok rentan berdasarkan keagamaan lainnya—yakni masih terdapat persyaratan 90 per 60 untuk mendirikan rumah ibadah.
Para penggagas rancangan perpres itu memaksudkan rancangan Perpres PKUB untuk meningkatkan kekuatan hukum Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan No 8/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Namun persoalannya, kesemua aturan hukum tersebut justru dianggap sebagai sumber masalah bagi kaum penghayat, terutama ketika mereka hendak mendirikan atau melegalisasi tempat peribadahan.
Baik pada kedua peraturan menteri maupun rancangan perpres yang tengah digodok, pemerintah masih memasukkan pasal mengenai persyaratan 90 per 60 untuk pendirian rumah ibadah.
Persyaratan itu mengharuskan pihak yang hendak mendirikan rumah ibadah harus mempunyai sedikitnya 90 orang jemaah dengan dibuktikan melalui KTP. Tak hanya itu, rumah ibadah juga baru bisa dibangun bila mendapat persetujuan minimal 60 orang warga setempat serta diketahui pejabat desa atau lurah.
Baca Juga: Wapres Maruf Amin Ikut Komentari Perubahan Status Jakarta Jadi DKJ
Bedanya, dalam dua peraturan sebelumnya, pihak yang hendak mendirikan rumah ibadah harus mendapatkan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB serta izin rekomendasi Kementerian Agama.
Sementara dalam rancangan Perpres PKUB, forum tersebut tak lagi memiliki kewenangan merekomendasikan boleh tidaknya suatu rumah ibadah didirikan di wilayahnya. Tapi, hal itu tetap dianggap menyulitkan dengan masih termuatnya persyaratan 90/60.
Pesan Ma’ruf Amin
KETUA Bidang Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia, Yusnar Yusuf, mengungkapkan tetap dipertahankannya persyaratan 90/60 untuk pendirian rumah ibadah itu adalah masukan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
“Kiai Ma'ruf Amin memberikan masukan kepada MUI, kepada kami, dan yang lain-lain, karena sudah putus itu,” kata Yusnar.
Ia berandai-andai—karena belum ada kasusnya—bila aturan itu dihapus sehingga rumah ibadah mudah dibangun, tentu sangat sedikit digunakan warga sekitar.
Sebaliknya, rumah ibadah itu nantinya justru akan banyak digunakan jemaat dari lokasi lain sehingga bisa berkonflik dengan warga sekitar.
“Pasti konflik itu. Mau konflik atau tidak? Kalau tak mau ada konflik, ya ikuti 90/60,” kata dia.
Namun, Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, justru mendesak persyaratan 90/60 pendirian rumah ibadah dihapuskan dari rancangan Perpres PKUB.
Ia menilai, semakin suburnya aksi intoleransi salah satunya dipicu oleh sulit dan berbelit-belitnya pembangunan rumah ibadah.
“Persyaratan itu membuat pemenuhan hak beribadah terbatasi. Terkadang, aturan itu menyuburkan intoleransi,” kata dia.
Menurutnya, negara harus memenuhi hak warga negara untuk dapat menjalankan ibadah sesuai keyakinannya secara tenang.
“Tentang pendirian rumah ibadah, Gusdurian tetap pada posisi meminta hal itu dicabut dan setiap umat beragama dipenuhi hak konstitusi beribadahnya sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945,” tegas Alissa Wahid.
‘Buat apa perpres’
ENGKUS Ruswana, penghayat kepercayaan Budi Daya yang merupakan turunan dari Sunda Wiwitan, mengatakan tidak perlu ada peraturan presiden bila masih memuat persyaratan 90/60 untuk pendirian rumah ibadah.
Menurutnya, salah satu hambatan bagi para penganut aliran kepercayaan selama ini adalah sulitnya membangun rumah ibadah.
Jangankan membangun rumah ibadah di situs-situs suci, pendirian tempat sembahyang di satu komunitas pun sulit lantaran aturan 90/60 tersebut.
“Kalau aturan 90/60 itu tetap dipertahankan, buat apa ada Perpres PKUB itu. Kan tujuannya tadi katanya adalah mau lebih demokratis,” kata dia.
Engkus mengkritik pihak-pihak yang berpikir bila persyaratan 90/60 dihapuskan, maka akan banyak pendirian rumah ibadah sehingga tak terkendali.
“Logis saja, mana ada orang yang mau menghambur-hamburkan uang mendirikan suatu bangunan bila tak dimanfaatkan, kan begitu.”
Sementara Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Pendeta Henrek Lokra mengatakan, sangat sulit mengumpulkan persetujuan 60 warga.
“Apalagi di daerah-daerah tertentu yang jemaatnya benar-benar minoritas, otomatis tidak bisa membangun gereja di situ,” kata Pendeta Henrek.
Sebaiknya, kata dia, persyaratan 90/60 dihapuskan serta diganti dengan persyaratan lain. Misalnya, pasal yang mengatur pelantang suara serta area parkir rumah ibadah sehingga tak menganggu kenyamanan masyarakat sekitar.
Selama ini, kata dia, yang dipersoalkan umat agama yang pengikutnya kecil adalah persyaratan 90/60 untuk membangun rumah ibadah.
“Jadi, kalau itu masalahnya, harus ada kebijakan pemerintah untuk mengatasinya.”
Apa pentingnya FKUB nasional?
DIREKTUR Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Paramadina, Ihsan Ali-Fauzi, lebih menyoroti peran dan posisi FKUB yang masih dipertahankan dalam Ranperpres PKUB.
Apalagi, FKUB selama ini kerap disorot negatif karena lembaga itu mempunyai kekuatan penuh merekomendasikan boleh atau tidaknya penganut agama mendirikan rumah ibadah.
Menurutnya, FKUB di tingkat daerah lebih dikuatkan dalam aspek mitigasi atau mencegah adanya konflik antarumat beragama.
“Perannya justru harus mendukung resolusi konflik keagamaan berskala kabupaten atau kota,” kata Ali-Fauzi.
Namun, dia mempertanyakan pembentukan FKUB tingkat nasional, yang menjadi hal baru dalam Ranperpers PKUB.
Ali-Fauzi menilai pembentukan FKUB nasional justru bakal menimbulkan masalah baru, serta kontraproduktif.
Sejatinya, masyarakat setempat lah yang mengetahui persoalan daerahnya, termasuk mengenai kerukunan antarumat beragama.
“FKUB nasional ini menunjukkan ada upaya sentralisasi seperti masa Orde Baru. Pusat ingin cawe-cawe urusan daerah,” kritik Ali-Fauzi.
Meski begitu, dirinya memuji kewajiban aturan perwakilan perempuan dalam FKUB yang termaktub dalam rancangan perpres.
“Itu langkah maju. Kalau dalam peraturan menteri tahun 2006, tak ada keterwakilan perempuan dalam FKUB.”
Kajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2020, menunjukkan terdapat peningkatan kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan—khususnya terkait pendirian rumah ibadah.
Tahun 2019, Komnas HAM menemukan 23 kasus terkait pendirian rumah ibadah. Jumlah itu mengalami peningkatan dibanding periode 2015-2018 yang hanya terdapat 21 pengaduan.
Berdasarkan data SETARA Institute, total terdapat 573 gangguan terhadap peribadahan serta tempat ibadah sepanjang tahun 2007 hingga 2022. Temuan itu termasuk penolakan pembangunan rumah ibadah.
Intimidasi warga yang mendukung
Pembangunan rumah ibadah yang didasarkan pada aturan persetujuan mayoritas, ternyata tak hanya menjadi masalah para pemohon, melainkan juga umat agama lain yang mendukungnya.
Setidaknya, hal tersebut terjadi di Aceh yang mayoritas warganya beragama Islam. Apalagi, daerah tersebut mempunyai aturan tersendiri bagi pendirian rumah ibadah selain masjid.
Dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah, pembangunan rumah ibadah selain masjid harus memenuhi persyaratan 140/110.
“Artinya, harus ada 140 pengguna rumah ibadah dan didukung 110 warga sekitar. Itu berlaku untuk rumah ibadah kecuali masjid,” kata Wakil Koordinator KontraS Aceh, Fuadi Mardhatillah.
Tak hanya itu, pihak pemohon juga harus mendapatkan rekomendasi dari sejumlah petinggi mulai dari kepala desa/lurah, imam-mukim, kesatuan adat, camat, kepala kantor pertanahan, Kemenag dan FKUB.
Pada praktiknya, kata dia, persyaratan 140/110 semakin sulit dipenuhi karena ada intimidasi terhadap warga yang mendukung pembangunan rumah ibadah.
“Ada intimidasi warga yang beragama Islam tapi mendukung pendirian rumah ibadah, seperti kasus di Kabupaten Aceh Singkil. Mereka diintimidasi tak akan disalatkan kalau meninggal dunia, atau tak dilibatkan dalam kegiatan desa,” ungkap Fuadi.
Kekinian, Fuadi beserta lembaga yang berkomitmen menjaga kerukunan umat beragama tengah berupaya mendorong majelis ulama di Aceh menerbitkan fatwa guna mempermudah pembangunan rumah ibadah.
“Kami ingin majelis ulama menerbitkan fatwa bahwa mendukung pendirian rumah ibadah agama lain sebagai bentuk bermuamalah.”
--------------------------------------
Hasil reporter ini adalah bagian program fellowship yang didukung Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SeJuk)