Terasing di Negeri Sendiri, Kemendagri Keberatan Penghayat Masuk Ranperpres PKUB

Jum'at, 29 September 2023 | 08:10 WIB
Terasing di Negeri Sendiri, Kemendagri Keberatan Penghayat Masuk Ranperpres PKUB
[Suara.com/Ema Rohimah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Diskriminasi terhadap kaum penghayat kepercayaan terus terjadi. Meski putusan MK mengafirmasi keberadaannya melalui KTP, Kemendagri justru berkeberatan mereka diatur rancangan peraturan presiden tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama.

MALAM belum begitu larut ketika Utiek Suprapti selesai bersembahyang di Sanggar Pamujan Maha Lingga Padma Buana yang menyatu dengan rumahnya, awal 2012. Ia sendirian hingga segerembolan orang datang.

Sebagai warga Dusun Mangir Lor, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten  Bantul, Yogyakarta, Utiek merupakan penghayat Hindu Mangir atau Hindu Jawa.

Tiga dari sekelompok orang yang tampak sengaja menunggu Utiek selesai bersembahyang langsung menghampiri. Sementara yang lain berjaga-jaga di empat penjuru dusun.

Baca Juga: Detik-detik Politikus PDIP 'Seruduk' Acara Rocky Gerung Bareng Mahasiswa: Tidak Beradab!

“Tolong berhenti beribadah seperti itu,” kata seseorang yang mendatanginya.

“Kenapa?” sanggah Utiek.

“Itu kan memanggil setan, musyrik,” tuding mereka.

“Mas siapa? Saya enggak kenal! Mas enggak punya hak untuk melarang saya.”

Utiek berupaya sabar dan tenang. Tak ingin ia terlibat keributan. Baginya, tidak ada yang salah dalam keyakinan maupun ibadahnya.

Baca Juga: Ngaji Rasa Hingga Kumandang Kidung untuk Alam dari Dayak Indramayu di Tepi Jalur Pantura

Apalagi ia bersembahyang di halaman rumah. Dupa yang dibakar, dibelinya sendiri. Begitu juga sesajen persembahan.

“Kalian tidak bisa menilai ibadah saya memakai keyakinan sendiri. Saya tak mengundang kalian. Ini rumah saya. Malam ini saya tak mau menerima tamu. Tolong tinggalkan rumah saya.”

Kalah berargumentasi, tiga orang tak dikenal segera pergi meninggalkan rumah Utiek.

Sepanjang tahun 2012, Utiek berulangkali harus berhadap-hadapan dengan gerombolan intoleran.

Selain didatangi, rumahnya sempat diancam dibakar. Utiek juga pernah dipanggil ke kantor kepolisian sektor setempat.

Empatbelas orang dari kepolisian, TNI, kantor urusan agama, pejabat kecamatan, hingga pamong desa, mendesak Utiek menghentikan peribadahan di rumahnya.

Bahkan, akhir tahun yang sama, sekelompok orang mendadak datang melakukan aksi sepihak, menurunkan batu Lingga Padma Buana di rumah Utiek.

Diskriminasi sosial juga dirasakan Utiek hanya lantaran perbedaan keyakinan. Suatu kali, pernah dia ikut berpartisipasi memberikan uang untuk acara di masjid.

Uang yang diberikan adalah iurannya sebagai warga. Namun pemberian Utiek justru dipertentangkan karena keyakinannya.

“Saya sebagai warga tidak membawa-bawa keyakinan, dan yang terpenting saya ikhlas. Enggak masalah bagi saya sekalipun untuk kegiatan di masjid,” katanya mencoba menjelaskan kepada pengurus masjid.

Urusan tempat sampah, Utiek juga dikucilkan. Dia dikecualikan saat warga lain mendapat tempat sampah di rumah masing-masing. Namun, ia tak mau protes, apalagi mencak-mencak. Baginya, sikap seperti itu justru merugikan orang lain.

Diskriminasi terus dirasakan selama bertahun-tahun oleh Utiek maupun penganut Hindu Mangir lainnya, hingga puncaknya 11 November  2019.

Senin hari itu, Utiek dan umat Hindu Mangir menggelar ritual penghormatan kepada leluhur mereka, yakni Ki Ageng Mangir—kharisma dan kiprah sosok ini pernah menjadi subjek sentral naskah drama Mangir karya sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer.

Upacara Odalan atau peringatan Maha Lingga Padma Buana itu tak hanya diikuti umat Hindu Mangir, melainkan jemaah Hindu maupun Buddha lainnya dari banyak daerah.

Namun, saat upacara baru setengah jalan, sekelompok orang datang membubarkan.

Subani—salah satu orang yang ikut melakukan pembubaran—mengklaim upacara yang dilaksanakan Utiek tidak berizin.

Dia beralasan, Utiek sebagai ketua penyelenggara upacara hanya memberikan pemberitahuan kepada mereka, tanpa meminta izin.

“Kami sebenarnya tidak mempermasalahkan kegiatan yang dia lakukan. Tapi jangan sampai mengundang banyak orang dari luar kota. Selain itu, mereka tak punya izin,” Subani berkilah.

Utiek bukan tak mengurus izin pendirian sanggar. Semua usaha sudah ia lakukan sejak delapan tahun sebelumnya.

Namun, perizinan itu baru diterbitkan Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat Hindu Kementerian Agama RI justru dua tahun setelah aksi persekusi pembubaran upacara tersebut, yakni 2021. Itu pun memakai perizinan bangunan rumah pribadi.

Menurutnya, perizinan pendirian sanggar pemujaan, seharusnya bisa cepat, tapi terhalang secara prosedural. Halangan tersebut adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 tahun 2006.

“Bukannya saya tidak mencari cara legalisasi, bukan. Itu jelas memang tidak diberi, karena dari pejabat tingkat paling bawah pun tidak memberi saya izin,” kata Utiek.

Aturan utama dalam PBM yang menghalang-halangi pendirian tempat ibadah adalah prosedur ’90 per 60’. Artinya, bila hendak mendirikan tempat ibadah, maka jemaat minimal berjumlah 90 orang dan dibuktikan memakai kartu tanda penduduk.

Namun, para penghayat tak pernah bisa menerakan keyakinan mereka pada kolom agama KTP. Kalaupun sudah ada 90 jemaah, mereka harus mendapatkan persetujuan minimal 60 warga setempat yang diketahui pejabat desa atau lurah.

“Setelahnya masih harus mendapatkan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan izin rekomendasi Kemenag,” kata Utiek.

Sembahyang Hari Raya Galungan di Sanggar Pamujan Padma Lingga Buana, Mangir Lor, Sendangsari, Pajangan, Bantul, Rabu (8/6/2022) - (SuaraJogja.id/Yulita Futty)
Sembahyang Hari Raya Galungan di Sanggar Pamujan Padma Lingga Buana, Mangir Lor, Sendangsari, Pajangan, Bantul, Rabu (8/6/2022) - (SuaraJogja.id/Yulita Futty)

Kemendagri berkeberatan

ANGIN segar sempat dirasakan oleh kaum penghayat atau orang-orang yang memeluk sistem kepercayaan asli Nusantara, ketika Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pencantuman Aliran Kepercayaan dalam Kependudukan.

Meskipun diskriminasi serta persekusi terhadap mereka tetap terjadi secara sporadis, putusan itu membuat para penghayat terafirmasi secara prosedural serta mempunyai status hukum yang sah.

Namun, kekinian, muncul persoalan baru seiring digodoknya rancangan peraturan presiden tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama atau Ranperpres PKUB.

Sebab, berdasarkan draf tertanggal 27 Juli 2023, ranperpres tersebut tidak mengakomodasi kaum penghayat di dalamnya.

Berdasarkan dokumen yang diterima Suara.com, tak termuat satu pun diksi penghayat pada 36 pasal yang diusulkan.

Tapi sebaliknya, persyaratan 90 per 60 untuk pendirian rumah ibadah yang dinilai diskriminatif serta menjadi salah satu sumber utama masalah, justru tetap tercantum.

Utiek mengakui, putusan MK yang mengafirmasi kesetaraan antara agama dengan penghayat kepercayaan adalah langkah progresif di Indonesia. Namun, Ranperpres PKUB itu justru membuat kemajuan tersebut kembali mundur.

“Seharusnya ranperpres itu meneruskan langkah maju putusan MK. Semakin mengukuhkan kesamaan antara agama dengan penganut kepercayaan,” kata dia.

Menurutnya, bila ranperpres masih mengandung pasal-pasal bermasalah, potensi diskriminasi serta persekusi terhadap kaum penghayat justru semakin tumbuh kembang di banyak daerah.

Secara hukum, pemerintah justru menargetkan Ranperpres PKUB sebagai penebal kekuatan hukum Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Rancangan perpres tersebut digodok bersama oleh Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Dalam Negeri.

Engkus Ruswana, tokoh penghayat kepercayaan di Indonesia, mengakui diikutkan dalam pembahasan ranperpres tersebut.

“Rapatnya via Zoom. Dalam rapat, yang menolak mengakomodir penghayat dalam ranperpres adalah Kemendagri,” kata Engkus.

Awalnya, cerita Engkus, dalam rancangan perpres yang dibuat Kemenkumham, kaum penghayat juga akan diatur, karena mengacu pada putusan MK.

Namun, setelah didiskusikan bersama, perwakilan Kemendagri berkeberatan bila ranperpres itu ikut mengatur kaum penghayat.

“Perdebatannya alot. Sebelumnya tidak ada yang keberatan. Tapi akhirnya Kemenkumham sudah mengarah menghilangkan penghayat dalam naskah ranperpres.”

Pada pertemuan itu kata Engkus, Kemendagri berdalih penghayat kepercayaan bukan agama, sehingga tak perlu menjadi objek aturan tersebut.

“Alasannya kan itu, karena ini forum kerukunan umat beragama. Penghayat kepercayaan itu dinilai bukan agama. Itu alasannya,” katanya.

[Suara.com/Rochmat]
[Suara.com/Rochmat]

Menurutnya, pola pikir tersebut justru menjadi langkah mundur dan bakal melanggengkan stigmatisasi terhadap kaum penghayat.

Ia bercerita, para penghayat kerap dicap sesat ketika melakukan ritual peribadatan. Engkus sendiri adalah pemeluk agama Budi Daya, cabang dari Sunda Wiwitan.

Akibat dicap aliran sesat, jangankan untuk mendirikan tempat ibadah, mereka selama ini kerap kesulitan bersembahyang.

“Karena  diangggap aliran sesat. Jadi lebih ke sana, bukan alasan (tidak ada izin). Kemudian di Yogyakarta pernah ada upacara larungan tidak boleh dilaksanakan, nah lebih ke alasan sesat begitu,” katanya.

Seharusnya, kata Engkus, ada perwakilan kaum penghayat dalam lembaga Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB, sehingga bisa mentransfer pemahaman yang utuh mengenai keyakinan mereka.

Tapi masalahnya, kaum penghayat tak bisa masuk FKUB di tingkat kabupaten maupun kota karena tidak ada landasan hukumnya pada PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2016.

Meski begitu, terdapat sejumlah daerah yang progresif, yakni tetap memasukkan kaum penghayat pada kepengurusan FKUB.

“FKUB Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, dan di Kabupaten Kota Baru Kalimantan Selatan itu ada.”

Soal keberatan aliran kepercayaan diatur dalam Ranperpres PKUB, Kemendagri justru memilih tidak mau berkomentar.

“Pembahasan perpres itu masih berlangsung, sehingga dinamikanya masih dalam pembahasan. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya,” kata Pelaksana Harian Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Yudia Ramli kepada Suara.com.

Aturan kontradiktif

ENGKUS menuturkan, masyarakat di banyak daerah sudah bisa menerima keberadaan kaum penghayat dalam kerangka kehidupan beragama.

Kekinian, masyarakat kebanyakan sudah mengetahui stigmatisasi maupun hoaks mengenai kaum penghayat.

Hasilnya, mereka sedikit banyak telah mempunyai pemahaman utuh mengenai kaum penghayat.

Selain itu, kata dia, umat agama lain di banyak daerah sudah melibatkan kaum penghayat dalam kegiatan-kegiatan kerukunan.

“Mereka juga menyadari, di lingkungan penghayat kepercayaan itu kan punya nilai-nilai tradisi yang ada manfaatnya, atau berguna untuk kerukunan,” kata dia.

Karenanya, rancangan Perpres PKUB yang tak mengatur kaum penghayat justru menjadi kemunduran serta kontradiktif terhadap kondisi riil.

Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah menilai, tidak masuknya penghayat kepercayaan ke dalam Ranperpres KUB adalah sebuah kemunduran.

Dia mengatakan, putusan MK Nomor  97/PUU-XIV/2016 yang mengakui keberadaan penghayat melalui KTP seharusnya menjadi dasar pelembagaannya pada rancangan perpres.

Apalagi diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan masih sering terjadi. Pencegahannya harus dilembagakan, yakni melalui rancangan Perpres FKUB.

“Rancangan Perpres PKUB itu seharusnya mesti menginklusi eksistensi penghayat kepercayaan dan hak-haknya. Apalagi diskriminasi terhadap mereka masih sering terjadi.”

Sejumlah usulan revisi

SAYYIDATUL Insiyah mengatakan, masih banyak pasal dalam rancangan Perpres PKUB yang bermasalah serta berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap kaum penghayat.

Salah satu pasal yang dianggapnya bermasalah dan perlu dikaji ulang adalah persyaratan 90/60 pendirian rumah ibadah.

Syarat minimal 60 orang warga setempat menyetujui pembangunan rumah ibadah harus berkomposisi sama.

Selama ini, ada anggapan 60 orang warga itu harus berbeda keyakinan dengan pihak yang hendak mendirikan rumah ibadah.

“Bisa diatur 60 orang itu dari agama yang sama (pihak yang hendak mendirikan rumah ibadah) dan keyakinan lainnya,” kata Sayyidatul.

Tak hanya itu, dalam rancangan perpres tersebut juga bisa ditambahkan pasal sanksi terhadap kepala daerah atau pejabat setempat yang dianggap menghambat atau mempersulit pendirian rumah ibadah.

Meski masih banyak pasal yang harus dikaji ulang, dia menilai rancangan perpres itu sudah benar menghapus kewenangan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam merekomendasikan izin pendirian rumah ibadah.

Sebab, kata dia, rekomendasi FKUB dalam praktiknya selama ini justru memicu terjadinya penolakan pembangunan rumah ibadah itu sendiri.

Terkait peranan FKUB, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian (PGI), Pendeta Henrek Lokra menilai, lembaga itu sebaiknya hanya dijadikan ‘jembatan’ dialog antaragama.

“Memediasi, membangun dialog antarumat beragama dalam satu wilayah. Jadi itu ruang dialog yang harus lebih dikemukakan,” tegasnya.

Anggota Komisi VIII DPR RI MY Esti Wijayati meminta pemerintah menunda pengesahan Ranperpres KUB, karena menurutnya masih banyak yang harus diperbaiki.

“Masih ada beberapa catatan yang perlu diakomodir, termasuk soal penghayat,” katanya.

Pemerintah diminta untuk kembali duduk bersama dengan tokoh dan majelis-majelis agama serta penghayat.

“Untuk bisa menyempurnakan semua hal yang masih dirasakan belum menguatkan pelaksanaan konstitusi, untuk melindungi semua warganegara dalam beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing,” katanya.

Informasi yang diterima Suara.com, draf Ranperpres PKUB sudah berada di Kementerian Bidang Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan.

Namun, Deputi VI Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam, Janedjri saat dihubungi, meminta Suara.com untuk mengonfirmasikannya ke Kementerian Agama.

Suara.com sudah menghubungi Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, tapi hingga artikel ini dipublikasikna, tak kunjung berbalas.

------------------------------------------------------------ 

Reportase ini merupakan bagian dari program fellowship oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI