Suara.com - Kasus pelecehan hingga penyimpangan seksual kembali terjadi di lingkungan TNI. Terbaru, perwira pertama Komando Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad) berinisial Lettu AAP (31) dilaporkan melakukan pelecehan seksual sesama jenis terhadap tujuh bawahannya yang berpangkat prajurit dua atau Prada.
Pengamat militer sekaligus Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebut persoalan pelanggaran hukum kesusilaan termasuk LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di lingkungan TNI memang sedemikian serius.
Menurutnya perlu sanksi tegas terhadap prajurit yang terbukti melakukan pelanggaran agar tidak semakin meluas hingga memengaruhi kesiapsiagaan serta mengganggu soliditas prajurit.
"Persoalan ini memang tak boleh dibiarkan dan harus menjadi salah satu agenda prioritas dalam pembinaan personel TNI," kata Khairul kepada Suara.com, Jumat (22/9/2023).
Baca Juga: Terungkap! Renteran Waktu Lettu AAP Lecehkan 7 Anak Buah: Dari November 2021 Hingga Juli 2023
Fenomena penyimpangan seksual hingga LGBT di lingkungan TNI, lanjut Khairul, semata-mata juga bukan karena lemahnya sistem perekrutan. Tetapi memang menurutnya perlu diakui praktik disorientasi seksual mudah terjadi dalam sistem pendidikan berasrama.
"Praktik disorientasi seksual memang mudah terjadi dalam proses pendidikan dan merupakan salah satu risiko dan kerentanan dari sistem pendidikan berasrama," ungkapnya.
Atas hal itu, Khairul menyatakan evaluasi terkait pembinaan mental prajurit di lingkungan TNI perlu dilakukan untuk mengantisipasi sejak dini munculnya potensi perubahan perilaku seksual tersebut.
Selain juga diperlukan sebuah kurikulum baku, metode bimbingan, pengasuhan dan pengawasan yang antisipatif di lingkungan asrama maupun di lingkungan kedinasan.
"Secara faktual menurut saya persoalan orientasi seksual juga sangat besar pengaruhnya pada soliditas dan kesiapsiagaan. Di lingkungan militer, soliditas dibangun hingga satuan terkecil dan merupakan salah satu nilai yang menjadi prioritas untuk ditanamkan dalam pembinaan personel. Soliditas personel menjadi salah satu aspek penting dalam hal kesiapsiagaan pasukan. Hal ini juga berkaitan erat dengan korsa," jelasnya.
Baca Juga: Kronologi Terbongkarnya Kasus Pelecehan Seksual Lettu AAP Ke Anak Buah, Bermula Dari Pesan Anonim
Khairul kemudian menuturkan bahwa LGBT pada satu sisi di lingkungan TNI dianggap sebagai perilaku menyimpang dan berbeda dari mayoritas prajurit yang lain. Karena itu mereka yang memiliki penyimpangan seksual tersebut memiliki kecenderungan untuk membentuk komunitas agar bisa merasa kuat dan eksis.
"Seperti saya katakan tadi, di lingkungan militer, soliditas erat kaitannya dengan korsa. Ada banyak komunitas yang terbangun dengan korsa yang kuat. Semisal menggunakan kesamaan daerah asal, tempat penugasan, angkatan pendidikan, minat atau hobi dan lain-lain," tuturnya.
"Bayangkan jika ini berkaitan dengan LGBT. Korsanya dibangun atas dasar kesamaan orientasi seksual yang sebenarnya merupakan minoritas. Kemungkinannya kemudian adalah mereka bisa dianggap ancaman karena berpotensi meluas, padahal mayoritas menganggap perilaku mereka menyimpang," imbuh Khairul.
Saat Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Laut atau KSAL, Khairul mengungkap yang bersangkutan sebenarnya pernah memberi peringatan keras, tegas dan terbuka pada para prajurit. Hal semacam ini menurutnya juga perlu dilakukan oleh pimpinan atau Kepala Staf TNI lainnya dan ditekankan pada jajaran pimpinan lembaga/satuan, perwira tinggi hingga perwira menengah.
"Dan kelak, Panglima TNI yang baru harus mampu menjawab tantangan bagaimana membangun pola pembinaan personel yang tak membuka peluang terjadinya praktik disorientasi seksual dalam kehidupan prajurit. Karena bagaimanapun, konsep asrama tak mungkin dihindari di lingkungan TNI," katanya.