Suara.com - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggelar sidang perdana kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 pada PT Garuda Indonesia dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar.
Dalam sidang ini, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Emirsyah telah merugikan negara sebesar USD 609.814.504,00 atau senilai Rp 9,3 triliun.
Emirsyah disebut telah memyerahkan rencana pengadaan armada (fleet plan) PT Garuda Indonesia yang merupakan rahasia perusahaan kepada Soetikno Soedarjo.
Soetikno dalam hal ini adalah pemilik PT Mugi Rekso Abadi (PT MRA), PT Ardyaparamita Ayuprakarsa (PT AA), Hollingworth Management Internasional (MRI), dan sebagai pihak intermediary (commercial advisor) yang mewakili kepentingan Avions De Transport Regional (ATR) dan Bombardier.
Baca Juga: Harta Kekayaan Emirsyah Satar, Eks Dirut Garuda yang Jadi Tersangka Korupsi
"Untuk selanjutnya (rencana pengadaan armada) diteruskan kepada Bernard Duc yang merupakan Commercial Advisor dari Bombardier," kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (18/9/2023).
Emirsyah kemudian didakwa mengubah rencana kebutuhan pesawat Sub 100 Seater dari yang semula dengan kapasitas 70 seats tipe Jet sesuai Hasil Kajian Feasibility Study Additional Small Jet Aircraft pada Juli 2010 dan ditetapkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2011-2015 yang disetujui para pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUSLB) pada 15 November 2010.
Namun, Emirsyah mengubah rencana menjadi pengadaan pesawat dengan kapasitas 90 seats tipe jet tanpa terlebih dahulu ditetapkan dalam RJPP.
Lebih lanjut, Emirsyah disebut memerintahkan Adrian Azhar sebagai Vice President (VP) Fleet Aquitition PT. Garuda Indonesia dan Setijo Awibowo selaku VP Strategic Management Office (QP) PT. Garuda Indonesia melakukan pengadaan pesawat Sub 100 seater dengan kapasitas 90 seats.
"Padahal, rencana pengadaan Pesawat Sub 100 seater dengan kapasitas 90 seats belum dimasukkan dalam RJPP PT. Garuda Indonesia," tambah jaksa.
Baca Juga: Kejagung Resmi Tetapkan Eks Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar Jadi Tersangka Korupsi
Emirsyah juga diduga memerintahkan Setijo dan Adrian untuk membuat feasibility study atau kajian kelayakan pengadaan pesawat Sub-100 seater tipe Jet kapasitas 90 seater.
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT. Garuda Indonesia memerintahkan Setijo Awibowo, Agus Wahjudo, Albert Burhan, dan Adriam Azhar masing-masing selaku Tim Pengadaan mengubah kriteria pemilihan dalam pengadaan pesawat jet Sub-1 00 dari pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) menjadi pendekatan economic sub kriteria NVP (Net Value Present) dan Route Result, tanpa persetujuan dari Board Of Direction (BOD) dengan tujuan untuk memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT. Garuda Indonesia," tutur jaksa.
Selanjutnya, Emirsyah bersama Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada PT Garuda Indonesia Hadinoto Soedigno dan Executive Projest Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia Agus Wahjudo bersepakat dengan Soetikno, Bermard, dan Trung Ngo untuk meminta pihak Bombardier membuat data-data analisa tentang kelebihan pesawat Bombardier CRJ-1 000.
Analisa itu dilakukan dengan membandingkan Bombardier CRJ-1 000 dengan Embraer E-190 berdasarkan perhitungan Net Present Value (NPV) dan Route Result pada kriteria economic agar memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia.
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia bersama-sama dengan Agus Wahjuno dan Hadinoto Soedigno selaku Direktur Teknik PT. Garuda Indonesia dan merangkap selaku Direktur Produksi pada PT. Citilink Indonesia melakukan persekongkolan dengan Soetikno Soedarjo selaku Comercial Advisory Bombardier dan ATR untuk memenangkan Bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat pada PT. GA, meskipun jenis pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 tidak sesuai dengan konsep bisnis PT. Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan yang menyediakan layanan full service," kata jaksa.
Lalu, Emirsyah bersama Albert, Arif Wibowo, dan Hadinoto yang masing-masing merupakan anggota Direksi PT Citilink Indonesia memberikan persetujuan untuk pengadaan pesawat Turbopropeller tanpa melalui rapat direksi.
Persetujuan itu dilakukan tanpa feasibility study yang memadai dan belum ditetapkan dalam RJPP maupun RKAP. Padahal, tipe pesawat tersebut tidak sesuai dengan sistem layanan penerbangan low cost carrier PT Citilink Indonesia yang kemudian dalam pengadaannya diambil alih oleh PT Garuda Indonesia.
"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT. Garuda Indonesia bersama-sama dengan Albert Burhan selaku Direktur Keuangan PT Citilink Indonesia melakukan pembayaran pre delivery payment (PDP) Pembelian Pesawat ATR 72-600 kepada Manufactur ATR sebesar USD 3.089.300,00 padahal mekanisme pengadaan ATR dilakukan secara sewa," ujar jaksa.
Emirsyah dan Albert lalu disebut melakukan pembayaran PDP pembelian Pesawat CRJ-1 000 kepada Bombardier sebesar USD 33.916.003,80, padahal mekanisme pengadaan CRJ-1 000 dilakukan secara sewa.
"Terdakwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara Cq. PT Garuda Indonesia seluruhnya sebesar USD 609.814.504,00 atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut," katanya.
Emirsyah Satar didakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.