"Pembangunan Rempang Eco City ini penting, namun yang lebih penting adalah memastikan pembangunan ini tidak mengorbankan rakyat," ujarnya.
"Tugas pemerintah, khususnya pembuat kebijakan dan regulator dalam menjaga keseimbangan antara investasi dan hak hidup rakyat. Janganlah kedua hal ini dipandang berbeda secara diametral, vis a vis, saling menegasikan. Investasi yang bermutu adalah yang humanis dan berdimensi kemanusiaan," imbuhnya.
Kasus Rempang
Pembahasan Rempang menempati trending topik Twitter dalam empat hari terakhir. Netizen bahkan mencuitkan kata 'Rempang' lebih dari 80 ribu kali di Twitter (media sosial X).
Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City akan dihadirkan pada Pulau Rempang, Batam. Nantinya, Rempang Eco City menjadi lokasi pabrik yang dikelola oleh produsen kaca asal China, Xinyi Glass Holdings.
Mereka akan membangun pabrik pengolahan dengan nilai investasi fantastis sebesar 11,5 miliar dolar AS atau Rp 177 triliun. Petinggi PWMU dan PBNU kompak meminta pemerintah untuk menghentikan atau mengevaluasi proyek Rempang Eco City.
Dikutip dari BBC News Indonesia--jaringan Suara.com, konflik Rempang membuat kampung adat berusia dua abad terancam digusur.
Belasan kampung adat di Rempang terancam hilang apabila proyek besar itu dilaksanakan. Salah satu dari 16 kampung adat di Pulau Rempang, terancam digusur untuk pembangunan proyek strategis nasional, Rempang Eco City.
Kampung Tanjung Banon terletak di ujung selatan Pulau Rempang. Warga menyebut kampung tersebut sudah 200 tahun berada di sana.
Baca Juga: Komnas HAM Sebut Penambahan 400 Personel Polisi di Rempang Justru Picu Eskalasi Konflik
Kini, Kampung Tua itu terancam digusur demi pembangunan Rempang Eco City yang digadang-gadang akan menyerap ribuan tenaga kerja. Warga Tanjung Banon pun diselimuti rasa cemas. Warga yang mayoritas bekerja sebagai nelayan takut rumah mereka digusur ketika mencari ikan di laut.