Suara.com - Perwakilan warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Suwardi menyampaikan pihaknya tegas menolak direlokasi dari tempat tinggalnya meski diterpa isu konflik lahan Proyek Strategis Nasional (PSN).
"Jadi kami tetap bertahan, berapapun uangnya. Pada intinya kami tetap mempertahankan itu, sampai kapan pun," kata Suwardi di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Selasa (12/9/2023).
"Ibarat kata melayu menyampaikan, biarlah kami berdiri daripada kami hidup berlutut. Karena kami mau jadi tuan rumah di negeri kami sendiri," imbuhnya.
Suwardi mengatakan penolakan tersebut bukan didasarkan atas persoalan biaya ganti-rugi rumah.
Menurutnya, warga menolak rencana itu lantaran kampung tersebut bernilai sejarah dan telah ditempati ratusan tahun silam.
"Kita tidak bicara itu, apakah dengan kita mengambil tawaran mereka marwah kita tetap terjaga, silsilah kampung juga tetap ada, kan tidak mungkin," ucapnya.
Lebih lanjut, Suwardi juga turut menyesalkan tindakan pemerintah dan BP Batam yang menurutnya terkesan memaksakan rencana proses pembangunan Rempang Eco-City di lokasi.
Kecam Aksi Represif Aparat
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil sebelum mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan aparat gabungan terhadap warga Pulau Rempang yang menolak direlokasi.
Baca Juga: Polisi Tangkap 43 Orang Buntut Demo Rusuh di BP Batam, 5 di Antaranya Positif Narkoba
Berdasar data yang mereka milik, ada sekitar enam warga yang ditangkap pasca kericuhan itu. Selain itu puluhan orang luka, beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi menyebut pembangunan Rempang Eco City sejak awal perencanaannya tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang yang sudah eksis sejak 1834. Sehingga menurutnya wajar jika kekinian masyarakat menolak direlokasi.
”Atas dasar tersebut, kami Masyarakat Sipil di Riau, Masyarakat Sipil Nasional, dan 28 Kantor Eksekutif Daerah WALHI meminta Presiden mengambil sikap tegas untuk membatalkan program ini. Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi menghilangkan hak atas tanah, dan identitas adat masyarakat di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang,” ujar Zenzi.
Zenzi juga meminta BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolresta Barelang dan Komandan Panglima TNI AL Batam bertanggung jawab atas bentrokan yang terjadi.
”Tindakan aparat Kepolisian, BP Batam dan TNI yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat adat Pulau Rempang, adalah pengabaian terhadap amanah konstitusi dan pelanggaran HAM secara nyata," jelas Zenzi.
"Oleh karena itu Presiden harus memerintahkan kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam karena telah melanggar konstitusi dan HAM,” lanjutnya.