Suara.com - Menko Polhukam Mahfud MD buka suara soal bentrokan yang terjadi antara warga Pulau Rempang, Batam dengan tim gabungan aparat penegak hukum pada Kamis (7/9/2023).
Diketahui bentrokan itu terjadi karena warga menolak pengembangan kawasan ekonomi Rempang Eco City di lokasi tersebut.
Warga menolak masuknya tim gabungan yang hendak mengukur lahan dan memasang patok di Pulau Rempang. Pemblokiran lantas dilakukan dengan membakar sejumlah ban dan merobohkan pohon di akses jalan masuk menuju Rempang.
Lantas bagaimana tanggapan pemerintah soal warga yang terpaksa harus bentrok dengan aparat demi tanah tersebut? Simak klaim Mahfud MD soal ricuh Pulau Rempang berikut ini.
Baca Juga: Ganjar Bertemu Mahfud, Politisi PDIP: Tak Ada Kaitannya dengan Pemilihan Cawapres
1. 80 Persen Warga Rempang Setuju Direlokasi Sebelum Bentrok
Mahfud mengungkap ada kesepakatan antara pemerintah daerah, pengembang dan warga terdampak proyek pengembangan Rempang Eco-City pada 6 September 2023 lalu. Dia menyebut kompensasi yang diberikan bagi warga terdampak antara lain setiap kepala keluarga diberi tanah 500 meter persegi.
"Dan dibangunkan rumah dengan ukuran 45 meter persegi sebesar Rp120 juta setiap kepala keluarga," kata Mahfud di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin (11/9/2023).
Mahfud juga mengatakan warga akan mendapat kompensasi berupa uang tunggu sebelum relokasi sebesar Rp1.034.000. Selain itu warga diberi uang sewa rumah untuk menunggu pembangunan masing-masing Rp1 juta.
Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan para warga terdampak akan direlokasi ke daerah terdekat di dekat pesisir pantai. Dia mengatakan kesepakatan itu dihadiri oleh 80 persen warga yang terdampak di proyek Rempang.
Baca Juga: Kades Wanita di Langkat Ditangkap Gegara Halangi Polisi Tangkap Pelaku Bentrokan Maut
Mahfud berharap aparat penegak hukum dan aparat keamanan berhati-hati menangani masalah ini. Dia mengimbau aparat memberitahu warga sudah ada kesepakatan terkait kompensasi tersebut.
Sayangnya informasi soal kesepakatan dan ganti rugi itu tidak tersampaikan dengan maksimal ke seluruh warga. Celah informasi yang tak tersampaikan utuh itulah yang diduga dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab untuk memprovokasi warga.
"Lalu demonya meledak tanggal 7 sehingga ada 8 orang yang sekarang diamankan karena diduga memprovokasi dan diduga tidak punya kepentingan. Ya ada provokatornya juga buktinya delapan orang ditangkap," jelas Mahfud.
2. Ada Kekeliruan Penerbitan Izin?
Mahfud mengungkap pemicu sengketa lahan antara Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dengan warga Rempang. Dia menuding ada kekeliruan dalam penerbitan izin yang dilakukan pemerintah daerah di Pulau Rempang.
Mahfud menjelaskan legalitas proyek pengembangan wisata lingkungan itu berawal dari memorandum of understanding (MoU) antara BP Batam dengan Pemda. Sebelum 2004, pengembangan wisata Pulau Rempang sudah diputuskan sekitar tahun 2001-2002.
Ketika itu pemerintah memberi hak pengelolaan dan pengembangan lahan di Rempang pada pengembang yakni anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata, PT Makmur Elok Graha (MEG). Namun setelah penandatanganan MoU itu, Pemda justru menerbitkan izin-izin pada pihak lain sehingga terdapat kegiatan dan penghuni yang bertempat di kawasan tersebut.
"Izin-izin baru yang dikeluarkan sesudah MoU (dengan PT MEG) dibatalkan semua oleh Menteri LHK. Di situ terjadi perintah pengosongan karena tahun ini akan masuk kegiatan-kegiatan yang sudah diteken (tahun) 2004 sesuai kebijakan (tahun) 2001- 2002," ucap Mahfud.
3. Bukan Penggusuran Tapi Pengosongan Lahan
Selain itu Mahfud Mahfud MD menegaskan bahwa bentrokan yang terjadi antara aparat gabungan TNI-Polri dengan warga Pulau Rempang itu bukan imbas dari upaya penggusuran. Dia menyebut hal itu adalah bentuk pengosongan lahan oleh pemegang hak.
"Supaya dipahami kasus itu bukan kasus penggusuran tapi pengosongan karena memang secara hak akan digunakan oleh pemegang haknya," tegas Mahfud.
Mahfud kembali menjelaskan tahun 2001-2002, negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang pada sebuah entitas perusahaan berupa hak guna usaha. Sebelum investor masuk, tanah itu ternyata belum digarap dan tak pernah dikunjungi.
Kemudian pada tahun 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru pada orang lain untuk ditempati.
Padahal Surat Keterangan (SK) haknya telah dikeluarkan secara sah pada tahun 2001-2002. Mahfud menyinggung kekeliruan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Ketika kemarin tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak datang ke sana ternyata tanahnya sudah ditempati. Kemudian diurut-urut, ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Lalu diluruskan sesuai aturan bahwa itu masih jadi hak karena investor akan masuk," ujar Mahfud MD.
Kontributor : Trias Rohmadoni