Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi menyebut pembangunan Rempang Eco City sejak awal perencanannya tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang yang sudah eksis sejak 1834. Sehingga menurutnya wajar jika kekinian masyarakat menolak direlokasi.
"Atas dasar tersebut, kami Masyarakat Sipil di Riau, Masyarakat Sipil Nasional, dan 28 Kantor Eksekutif Daerah WALHI meminta Presiden mengambil sikap tegas untuk membatalkan program ini. Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi menghilangkan hak atas tanah, dan identitas adat masyarakat di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang," ujar Zenzi.
Zenzi juga meminta BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolresta Barelang dan Komandan Panglima TNI AL Batam bertanggung jawab atas bentrokan yang terjadi.
"Tindakan aparat Kepolisian, BP Batam dan TNI yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat adat Pulau Rempang, adalah pengabaian terhadap amanah konstitusi dan pelanggaran HAM secara nyata. Oleh karena itu Presiden harus memerintahkan kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam karena telah melanggar konstitusi dan HAM," tegasnya.
Klaim Tertiup Angin
Kabid Humas Polda Kepulauan Riau Kombes Zahwani Pandra Arsyad belakangan mengklaim penembakan gas air mata yang dilakukan anggota telah sesuai prosedur. Menurutnya, tindakan tersebut diambil karena massa diklaim telah melempari batu ke arah aparat.
Pandra juga membantah kalau gas air mata sengaja ditembakan ke arah sekolah.
"Sekolah berbatasan dengan tempat mereka berkumpul. Nggak mungkin gas air mata diarahkan ke sekolah," ucapnya.
"Gas (air mata) dialihkan ke kerumunan tapi tertiup angin," katanya.
Baca Juga: Putri Gus Dur Alissa Wahid Soroti Dampak Gas Air Mata Oleh Polisi ke Pelajar, Bisa Bikin Buta!