Suara.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menjelaskan awal mula polemik Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Rempang, Batam, Kepualauan Riau menimbulkan kegaduhan.
Mahfud mengatakan negara telah menyerahkan hak penggunaan lahan di Pulau Rempang pada tahun 2001 kepada sebuah perusahaan.
"Itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha itu Pulau Rempang, itu tahun 2001 sampai 2002," ujar Mahfud kepada wartawan di Jakarta Selatan, Jumat (8/9/2023).
Namun hingga 2004, ternyata lahan di Pulau Rempang tak kunjung digarap. Akhirnya, lahan tersebut diserahkan kepada seorang pengusaha atau perseorangan.
Baca Juga: 3 Kasus Penggunaan Gas Air Mata Oleh Polisi Melawan Warga, Terbaru di Pulau Rempang
Pada 2022, Mahfud menyebut ada investor yang ingin menggarap lahan tersebut. Rupanya lahan di sana sudah ditempati oleh warga.
"Padahl SKH-nya itu sudah dikeluarkan pada tahun 2001-2002 secara sah, nah kemarin ketika tahun 2022 investor akan masuk yang pemegang hak itu datang ke sana ternyata tanahnya sudah ditempati," jelas Mahfud.
Mahfud menyampaikan ada kesalahan dari otoritas setempat termasuk pemerintah pusat ketika melakukan pengecekan lahan di Pulau Rempang untuk proses pembangunan PSN.
"Maka kemudian diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemeriksaan setempat maupun pemerintah pusat selama ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," katanya.
Alhasil, proses pengosongan tanah di Pulau Rempang pun menimbulkan masalah. Masyarakat yang ada di lokasi merasa tiba-tiba terusir dari wilayah yang sudah ditinggali selama bertahun-tahun.
Baca Juga: Kronologi Bentrokan Pulau Rempang, Berawal dari Sengketa Lahan Rempang Eco City
"Nah proses pengosongan tanah ini lah yang sekarang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanahnya, bukan hak gunanya, bukan hak usahanya," kata Mahfud.
"Tapi karena itu proses itu sudah lama sudah belasan tahun di situ, tiba-tiba harus pergi meskipun menurut hukum kan tidak boleh karena itu ada haknya orang. Kecuali lewat dalam waktu tertentu lebih dari 20 tahun," imbuhnya.
6 Warga Ditangkap
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil sebelum mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan aparat gabungan terhadap warga Pulau Rempang yang menolak direlokasi. Berdasar data yang mereka milik, ada sekitar enam warga yang ditangkap. Selain itu puluhan orang luka, beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi menyebut pembangunan Rempang Eco City sejak awal perencanannya tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang yang sudah eksis sejak 1834. Sehingga menurutnya wajar jika kekinian masyarakat menolak direlokasi.
”Atas dasar tersebut, kami Masyarakat Sipil di Riau, Masyarakat Sipil Nasional, dan 28 Kantor Eksekutif Daerah WALHI meminta Presiden mengambil sikap tegas untuk membatalkan program ini. Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi menghilangkan hak atas tanah, dan identitas adat masyarakat di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang,” ujar Zenzi.
Zenzi juga meminta BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolresta Barelang dan Komandan Panglima TNI AL Batam bertanggung jawab atas bentrokan yang terjadi.
"Tindakan aparat Kepolisian, BP Batam dan TNI yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat adat Pulau Rempang, adalah pengabaian terhadap amanah konstitusi dan pelanggaran HAM secara nyata. Oleh karena itu Presiden harus memerintahkan kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk segera mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam karena telah melanggar konstitusi dan HAM," tegasnya.