Suara.com - Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry mengungkap soal alasannya dalam pembuatan kajian cepat tentang Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua, kasus Intan Jaya. Isu tersebut menurut Ashov, begitu penting lantaran di Intan Jaya, Papua masih banyaknya pengerahan pasukan militer.
Pernyataan itu diungkapkan Ashov Birry saat dihadirkan sebagai saksi meringankan untuk terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidyanty dalam sidang lanjutan kasus dugaan pencemaraan nama naik terhadap Menko Marves Luhut B Pandjaitan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (4/9).
Menurutnya, tidak hanya pengerahan pasukan militer yang masif. Namun, lanjut Ashov, di Intan Jaya, juga marak industri ekstraktif, termasuk pertambangan, hutan tanaman industri (HTI), dan lainnya.
"Kami tidak mau atau kami khawatirkan, yaitu diistimewakan perusahan-perusahan yang punya privelege dalam konteks pembuatan kebijakan," kata Ashov di sidang.
"Jadi jangan sampai kebijakan yang diambil hanya menguntungkan sedikit orang tapi tidak untuk publik, kan itu poinnya," imbuhnya.
Dalam kajian cepat ini, lanjut Ashov, pihaknya tidak mau wilayah Intan Jaya Papua disalahgunakan oleh orang-orang yang memiliki kekuasan terutama pejabat atau pernah menjabat di bidang militer.
Dari sekian nama para pejabar militer yang disebutkan dalan kajian cepat itu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan disebut salah satu orang yang bermain di dalamnya.
"Beliau adalah Menko Marves, kemudian dalam linimasa kajian cepat ini beliau pernah menjabat Plt Kementerian ESDM, yang bertumpuk linimasanya dengan kerjasama antara Toba Sejahtera dan TDM dalam konteks pengurusan CNC, yang adalah kewenangan Dirjen Minerba yang ada di kementerian ESDM," beber Ashov.
"Kemenko Marves ini mengoordinasi kementerian ESDM, KLHK dalam konteks pengurusan izin kehutanan," imbuhnya.
Baca Juga: Jokowi Tunjuk Luhut Pimpin Tim Penanganan Polusi Udara, Apa Tugasnya?
Atas hal tersebut, Ashov melihat adanya potensi permainan yang dilakukan oleh Luhut sebagai menteri dan pengusaha.
"Poinya adalah, harusnya tidak boleh begitu. Bagusnya penguasa tidak jadi pengusaha. Jadi tata kelola yang baik yang kita tuju," tutup Ashov.