Suara.com - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE, dinilai masih menjadi salah satu sumber utama pengekangan kebebasan berpendapat serta berekspresi di Indonesia.
Bahkan, di daerah-daerah konflik seperti Papua, UU ITE kerap diterapkan untuk 'menjaring' aktivis-aktivis hak asasi manusia (HAM) ataupun yang menyuarakan hak menentukan nasib sendiri alias right to self-determination.
Tak jarang, di Papua, UU ITE selalu dipaketkan dengan pasal-pasal yang mengatur tentang makar, agar para aktivis tak bisa lolos dari hukuman pemenjaraan.
Nenden Sekar Arum, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, mengakui hal tersebut. Menurutnya, 'pasal-pasal karet' UU ITE kerap dijadikan 'senjata' bila pemerintah mendapat kritik dari kalangan masyarakat sipil.
Untuk kasus Papua sendiri, Nenden mengakui penerapan UU ITE kerapkali bertendensi politis ketimbang murni soal penegakan hukum demi keadilan.
Seperti apa bingkai luas 'pasal-pasal karet' UU ITE digunakan untuk menjerat aktivis, terutama di Papua, berikut petikan wawancara Suara.com dengan Nenden Sekar Arum.
Berdasar data SAFEnet ada berapa kasus pemidanaan UU ITE yang terjadi di Papua?
Kalau khusus UU ITE, memang tidak banyak. Ada satu sebetulnya yang terkahir kami dampingi itu, Leo Ijie. Dia advokat LBH Kaki Abu yang dilaporkan memakai UU ITE.
Tapi memang kasusnya digantung sekian tahuanan begitu. Terus tiba-tiba diproses lagi, walaupun akhirnya memang tidak dilanjutkan prosesnya di kepolisan.
Baca Juga: Emanuel Gobay: Pasal Makar Diterapkan Diskriminatif untuk Papua

Bagaimana pola atau tren pemidanaan UU ITE di Papua?