Tenggelamnya Kehidupan Anak Pesisir Jakarta: Masihkah Ada Harapan?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Rabu, 30 Agustus 2023 | 09:47 WIB
Tenggelamnya Kehidupan Anak Pesisir Jakarta: Masihkah Ada Harapan?
Masjid Wall Adhuna yang tergenang rob di Muara Baru, Jakarta, Selasa (7/6). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Matahari baru saja beranjak dari atas kepala. Derap kaki kecil Nurul memecah keheningan pesisir utara Jakarta. Tawanya saling bersahutan diterbangkan angin laut yang menyapu debu ke udara. 

Siang itu, angin laut pesisir Jakarta jadi karibnya. Dalam sekali hentak, layangan yang terhubung dengan benang dalam genggaman tangan kanannya terbang. Ia melayang ke arah Barat. Tubuh gempal bocah itu terus berlarian mengikuti semilir arah angin. 

Kehidupan di pesisir utara Jakarta, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. (Suara.com/Bimo Aria Fundrika)
Kehidupan di pesisir utara Jakarta, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. (Suara.com/Bimo Aria Fundrika)

Di utara tempat Nurul bermain, berdiri gagah tanggul - tanggul beton. Mereka ditancapkan dalam - dalam di bibir pesisir Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Di baliknya deburan ombak laut Jawa terus menghantam dan merangsek. Tidak jarang deburan ombak itu melimpas melewati batas dan celah - celah tanggul yang beberapa mulai keropos. Rangka dinding Masjid Wal Adhuna jadi saksi bisu Jakarta kian tenggelam perlahan. 

“Tanggul itu hanya sementara. Hanya sebagai painkiller,” kata Peneliti Geodesi Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas di ujung telepon. 

Baca Juga: Anak Buah Erick Thohir Ditangkap Karena Memiliki Senjata Api Ilegal

Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB ini merupakan salah satu anggota Kelompok Kajian Geodesi. Bersama peneliti lainnya ia meneliti penurunan permukaan tanah di ibu kota yang disebut-sebut menjadi sumber bencana tenggelamnya Jakarta. Heri menyebut bahwa tanggul hanya solusi sementara lantaran, beton - beton tersebut tidak menyelesaikan sumber masalah utama dari tenggelamnya Jakarta. 

Dalam riset berjudul ‘Land subsidence of Jakarta (Indonesia) and its relation with urban development’ Heri menemukan penurunan muka tanah yang bervariasi dengan laju sekitar 1 – 15 cm/tahun. Beberapa lokasi bahkan dapat mengalami laju penurunan permukaan tanah hingga sekitar 20 – 28 cm/tahun.

“Kalau tidak dilakukan intervensi serius lebih lanjut, kemungkinan 75 persen wilayah di Jakarta akan berada di bawah laut pada 2050,” ujar Heri. 

Dalam penelitiannya, Heri menemukan bahwa kawasan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara mengalami laju penurunan muka tanah hingga 20 cm meter per tahun. Dalam perhitungannya permukaan tanah di Penjaringan akan turun sedalam 3,5 meter pada tahun 20250. 

Kehidupan di pesisir utara Jakarta, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. (Suara.com/Bimo Aria Fundrika)
Kehidupan di pesisir utara Jakarta, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. (Suara.com/Bimo Aria Fundrika)

Situasi ini juga semakin diperparah dengan banjir rob yang sering terjadi di pesisir Jakarta. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada Sabtu, (26/8/2023) mengeluarkan peringatan akan potensi banjir rob di pesisir Jakarta sebagai imbas dari fenomena fase bulan purnama (full moon) pada Rabu, (30/8/2023). Terlebih, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim dalam salah satu laporannya juga melaporkan kenaikan permukaan air laut rata-tara 2,5 milimeter setiap tahunnya. 

Baca Juga: Puasa Weton Anak Menurut Islam, Apakah Dibolehkan?

Nasib anak pesisir: diterjang banjir rob, tenggelam karena penurunan tanah

Jika situasi itu terus terjadi, Nurul yang tinggal hanya sekitar 1 km dari titik tanggul di utara Jakarta akan menjadi yang pertama terdampak dari situasi ini. Dalam skala yang lebih luas hidup sekitar 30 ribu anak di Penjaringan, Jakarta Utara terancam jadi korban bencana yang kini ada di depan mata. 

Kondisi itu juga berbanding lurus dengan Indeks Risiko Iklim Anak-Anak yang dikeluarkan oleh UNICEF. Dalam laporan itu Indonesia peringkat 46 di antara negara-negara berisiko tinggi. Analisis terbaru UNICEF untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik menunjukkan bahwa di Indonesia, lebih dari 74 juta anak-anak terpapar polusi udara, lebih dari 28 juta anak-anak terpapar banjir pesisir, lebih dari 15 juta anak terpapar gelombang panas, lebih dari 8 juta anak terkena polusi timbal, hampir 7 juta anak terkena banjir sungai, 3,5 juta anak terkena kelangkaan air, dan 2,2 juta anak terkena angin topan.

Warga melintasi banjir rob yang menggenangi kawasan Muara Baru, Jakarta, Selasa (5/12).
Warga melintasi banjir rob yang menggenangi kawasan Muara Baru, Jakarta, Selasa (5/12).

“Anak-anak dan keluarga yang kurang beruntung karena kemiskinan dan memiliki sumber daya paling sedikit untuk mengatasi dampak perubahan iklim, kemungkinan besar akan menghadapi bahaya yang paling besar. Karena mereka memiliki sarana yang paling sedikit untuk melindungi diri mereka dari risiko-risiko ini,” ujar Spesialis Komunikasi UNICEF Indonesia, Kinanti Pinta Karana ke Suara.com. 

Selain itu, perubahan iklim juga berdampak pada kesehatan, gizi, pendidikan, dan kesejahteraan anak-anak, khususnya di masyarakat berpenghasilan rendah. Ironisnya, dampak-dampak ini tidak dirasakan secara merata. Anak-anak, meskipun kontribusi mereka terhadap perubahan iklim terbatas, menanggung beban karena berkurangnya kemampuan mereka untuk bertindak atau melindungi diri mereka sendiri. 

“Mereka paling terkena dampaknya karena tahap awal perkembangan fisiologis dan kognitif mereka,” kata Pinta. 

Mengapa ini terjadi?

Tenggelamnya Jakarta sedikit demi sedikit menurut Heri merupakan kombinasi dari tiga faktor utama, antara lain kompaksi alamiah, beban infrastruktur dan eksploitasi air tanah. Kompaksi alamiah adalah proses pengurangan lapisan sedimen tanah akibat beban sedimen di atasnya. Sedangkan beban infrastruktur sederhananya ialah beban kepadatan bangunan yang mempengaruhi muka tanah. 

“Yang paling besar porsinya eksploitasi air tanah, jadi bagaimana kita me-manage eksploitasi, menghentikan eksploitasi.” kata Heri. 

Bahan presentasi dari ahli Geodesi ITB, Heri Andreas, terkait hasil penelitiannya mengenai penurunan tanah di pesisir utara Jakarta. [Dok. Heri Andreas]
Bahan presentasi dari ahli Geodesi ITB, Heri Andreas, terkait hasil penelitiannya mengenai penurunan tanah di pesisir utara Jakarta. [Dok. Heri Andreas]

Heri menjelaskan bahwa kehadiran tanggul hanya untuk menghalau banjir rob yang kerap menerjang bibir pesisir Jakarta.Tanggul tersebut tidak bisa menghentikan laju penurunan tanah. Bahkan bukan tidak mungkin tanggul itu juga terus turun seiring dengan amblasnya permukaan tanah Jakarta. 

“Mau dibangun tanggul satu meter, bahkan dibangun sampai 3 meter,air laut pasti akan datang lagi. Jadi terpenting intervensi groundwater management,” ujar Heri. 

“Tapi apakah (pemerintah DKI Jakarta) bisa memanage air tanah? ini pertanyaan yang sulit dijawab.” 

Hingga saat ini baru 65 persen warga di DKI Jakarta yang didukung dari air permukaan melalui pipanisasi. Bahkan, Heri menyebut secara riil di lapangan hanya berkisar 50 persen. Sementara 50 persen sisanya ditopang oleh air tanah. 

“Artinya kalau dihentikan kita kurang 50 persen air. Sedangkan air itu kebutuhan sehari hari tidak mungkin itu hilang kita baik baik saja,” ujar Heri. 

Kondisi warteg mengalami penurunan muka tanah. (Suara.com/Bimo Aria Fundrika)
Kondisi warteg mengalami penurunan muka tanah. (Suara.com/Bimo Aria Fundrika)

Potensi masalah lain yang juga mungkin lantaran dari total air permukaan yang ada di Jakarta saat ini, hanya 20 persen yang bersumber dari Jakarta. Sedangkan 80 persen lainnya dari Jawa Barat, dan Banten. Jika suplai air dari daerah tersebut dihentikan, artinya Jakarta hanya memiliki 20 persen total air permukaan. 

“Dengan situasi seperti ini, anak-anak berpotensi kekurangan air di masa dewasa. Kelak di masa remaja. air tanah akan habis karena ireversibel, atau sulit digantikan,” kata Heri

“Ketika air permukaan tercemar dan tidak bisa digunakan, air tanah dieksploitasi maksimal dan maka akan habis. Maka anak - anak kita akan menderita 10 hingga 20 tahun ke depan dari sekarang.”

Adakah harapan untuk kita?

Demi mengatasi dampak perubahan iklim, jelas Pinta, perlu pendekatan komprehensif untuk menyelesaikan akar penyebab perubahan iklim, yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu penting pula memberikan dukungan dan sumber daya untuk membantu anak-anak dan keluarga beradaptasi terhadap dampaknya. 

Pinta menjelaskan, bahwa penting memastikan anak memiliki akses terhadap layanan utama yang mereka butuhkan. Demi mencapainya perlu investasi pada pendidikan, kesehatan, dan layanan air, sanitasi dan kebersihan yang cerdas iklim dan tahan bencana, sehingga anak-anak dapat mengakses layanan tersebut meskipun ada guncangan yang mereka hadapi.

Kemudian, perlu ada sistem perlindungan anak dan perlindungan sosial yang responsif terhadap perubahan iklim. Selain itu juga perlu pemahaman tentang apa yang diharapkan dan bagaimana melakukan penyesuaian jika diperlukan, menetapkan dan memanfaatkan sistem peringatan dini, manajemen risiko, dan kesiapsiagaan bencana yang kuat; 

Dari ketiga hal itu, hak-hak anak harus menjadi inti dari upaya tanggap darurat, dan suara serta perspektif mereka didengar dan ditindaklanjuti oleh para pengambil keputusan.

“Kita perlu dibimbing oleh anak-anak dan remaja. Ini adalah planet yang akan mereka warisi. Mereka berkontribusi paling kecil untuk menciptakan masalah ini, tapi merekalah yang akan menanggung 100 persen dampaknya di masa depan,” kata Pinta. 

“Kita berutang memberi mereka kesempatan untuk sukses.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI