Suara.com - Sejarawan, aktivis, pegiat seni, hingga akademisi menggelar deklarasi mendesak Pemerintah Indonesia menulis ulang sejarah terkait kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Pengakuan Presiden Joko Widodo atas 12 pelanggaran HAM berat tidak cukup. Mereka menyebut harus ada praktik konkret, salah satu yang terpenting dengan mengoreksi sejarah yang keliru.
Aktivis perempuan Ita F Nadia mengatakan, penulisan ulang sejarah penting demi mengungkapkan kebenaran, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menegakkan keadilan.
"Melalui deklarasi ini, kami menyatakan bahwa negara harus segera dan tanpa syarat menunaikan kewajiban-kewaiiban konstitusionalnya untuk melakukan penulisan ulang sejarah demi mengungkapkan kebenaran," kata Ita di kantor Amnesty International Indonesia, Jakarta Pusat pada Selasa (29/8/2023).
Baca Juga: Sejarah Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996, Kasus Pelanggaran HAM yang Belum Terungkap
Ita menilai, narasi sejarah yang keliru selama ini sering digunakan untuk membenarkan kekerasan politik di masa lalu.
Selain itu, ia menilai hal tersebut dapat menciptakan iklim ketakutan, dan kecemasan publik sejak masa lalu hingga kini di masa reformasi. Termasuk menciptakan musuh-musuh fiktif dari dalam dan luar tubuh bangsa pada momen-momen elektoral.
"Kami memandang sejarah resmi negara saat ini menutupi hakikat kekerasan politik masa lalu dan melegitimasi penyimpangan kekuasaan negara. Ini harus dikoreksi," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, sejarawan Andi Achdian menyatakan, selama ini kasus pelanggaran HAM yang diamini masyarakat merupakan produk tunggal dari rezim Orde Baru (orba).
Bahkan, korban pelanggaran HAM selama ini selalu digambarkan sebagai perusuh atau pihak yang seharusnya ditangkap.
Andi merasa perlu adanya persepsi masyarakat untuk memaklumi adanya kekerasan oleh negara. Salah satu narasi yang dibuat oleh orba yakni peristiwa G30S.
"Problemnya sejarah di Indonesia bukan sekadar sejarah. Sejarah sudah menjadi praktik kekuasaan. Di situ lah kita hidup. Bahkan imajinasi kita dibatasi," ucapnya.
Untuk diketahui, berikut 12 pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu seperti yang disampaikan Presiden Jokowi:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
- Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999
- Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena, Papua 2003
- Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Jokowi lalu membentuk tim khusus untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM berat di masa lalu dengan dengan nama Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).
Dalam tim khusus ini, Menko Polhukam Mahfud MD menjadi ketua tim pengarah sedangkan Makarim Wibisono menjadi ketua tim pelaksana.
Tim PPHAM tersebut berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Mereka bertugas mengungkap dan menganalisis pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM tahun 2020.