JPPR Sebut Mantan Koruptor Nyaleg Jadi Wujud Kegagalan Partai Politik

Senin, 28 Agustus 2023 | 11:38 WIB
JPPR Sebut Mantan Koruptor Nyaleg Jadi Wujud Kegagalan Partai Politik
Ilustrasi Korupsi (freepik)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita menyebut adanya calon anggota legislatif (caleg) yang merupakan mantan terpidana kasus korupsi sebagai wujud dari kegagalan partai politik.

Perempuan yang karib disapa Mita itu menjelaskan bahwa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif memang merupakan hak sipil politik.

Namun, dia menilai pencalonan mantan terpidana kasus korupsi justru menjadi tanda bahwa partai politik gagal melakukan pendidikan politik, khususnya dalam hal rekrutmen politik.

“Calon yang memiliki rekam jejak buruk dipublik sudah tentu tidak mendapatkan tempat di dalam masyarakat ‘seharusnya’ karena masyarakat berhak memberikan sanksi sosial,” kata Mita kepada wartawan, Senin (28/8/2023).

Baca Juga: Selain Budiman Sudjatmiko, Deretan Kader Partai Ini Ternyata Juga Pernah 'Membelot'

Terlebih, lanjut dia, para caleg diproyeksikan untuk mengisi jabatan publik yang akan memberikan pengaruh signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Tentu saja, potensi politik uang sangat besar akan mempengaruhi pemilih dalam memenangkan calon tersebut. Pada posisi ini, parpol gagal melakukan pendidikan politik tersebut,” ujar Mita.

Selain itu, Mita juga menilai partai politik gagal dalam melakukan kaderisasi. Pasalnya, dia menyebut ribuan kader partai politik yang tersebar di Indonesia seharusnya bisa menjadi modal dalam melakukan kaderisasi.

“Namun mengapa seolah stok parpol dalam mencalonkan terkesan ambigu dengan mencalonkan kembali mantan napi koruptor,” sebut Mita.

“Jika parpol berhasil melakukan kaderisasi maka seharusnya calon-calon yang memiliki rekam jejak buruk tersebut tidak dicalonkan kembali. Seharusnya kader-kader parpol yang berintegritas yang dicalonkan,” tambah dia.

Baca Juga: Budiman Sudjatmiko Tidak Sendiri, Para Kader Partai Ini Juga Pernah 'Membelot'

Kemudian, Mita juga menilai bahwa hal ini merupakan kegagalan demokratisasi di internal partai politik dalam konteks penguatan kelembagaan parpol pasca reformasi.

“Jika partai demokratis, pasti akan memberikan kesempatan yang besar untuk kader-kader terbaiknya yang belum memiliki rekam jejak buruk. Jangan sampai proses pencalonan mantan koruptor tersebut karena diduga adanya mahar politik yang diberikan kepada parpol,” tutur Mita.

Untuk itu, dia mengimbau masyarakat untuk tidak mempertimbangkan mereka terpilih kembali menjadi anggota legislatif.

“Publik perlu memperkuat sanksi sosial yang perlu diberikan kepada valon tersebut, meskipun secara sanksi hukum calon tersebut telah selesai menjalani hukuman,” imbau Mita.

Lebih lanjut, dia juga mengingatkan publik untuk memahami bahaya politik uang dalam pelaksanaan pemilu

“Jangan sampai rekam jejak buruk calon tersebut dapat ditutupi dengan rayuan sesaat berupa politik uang dalam memenangkan calon terebut,” tandas Mita.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan ada 15 caleg yang merupakan mantan terpidana kasus korupsi.

“KPU RI sendiri terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Sabtu (26/8/2023).

Hal itu diungkapnya, menyusul pernyataan Anggota KPU RI Idham Holik yang bilang tidak ada perintah Undang-Undang mengumumkan status mantan terpidana korupsi yang menjadi caleg.

"Pernyataan ini justru bertolak belakang dengan janji ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari yang pada akhir Juli lalu menyatakan bahwa mantan terpidana korupsi yang didaftarkan sebagai bacaleg akan diumumkan saat penetapan DCS," ujar Kurnia.

Tidak diumumkannya nama-nama caleg yang berstatus mantan koruptor dinilai menyulitkan masyarakat untuk memberikan masukan dan tanggapannya terhadap Daftar Calon Sementara.

"Terlebih, informasi mengenai daftar riwayat hidup para bakal caleg juga tidak disampaikan melalui laman KPU. Jika pada akhirnya pada mantan terpidana korupsi tersebut lolos dan ditetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT), tentu probabilitas masyarakat memilih calon yang bersih dan berintegritas akan semakin kecil," jelasnya.

Sikap anggota KPU dianggap berbeda dengan situasi pemilu 2019 lalu, saat itu langkah yang diambil lebih progresif, mengumumkan daftar caleg berstatus mantan koruptor.

"Artinya langkah KPU RI saat ini jelas sebuah langkah mundur, tidak memiliki komitmen antikorupsi dan semakin menunjukan tidak adanya itikad baik untuk menegakkan prinsip pelaksanaan pemilu yang terbuka dan akuntabel sebagaimana disinggung dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," tegas Kurnia.

Merujuk pada data yang diungkap ICW, terdapat 9 caleg mantan narapidana koruptor, di antaranya sebagai berikut:

1. Abdullah Puteh, nomor urut 1 Nasdem, daerah pemilihan atau dapil Aceh II. Mantan koruptor kasus pembelian 2 unit helikopter saat menjadi Gubernur Aceh.

2. Rahudman Harahap, nomor urut 4 dari NasDem, dapil Sumatera Utara I. Mantan koruptor kasus dana tunjangan aparat Desa Tapanuli Selatan saat menjadi Sekda Tapanuli Selatan.

3. Abdillah, nomor urut 5 dari NasDem, dapil Sumatera Utara I. Mantan koruptor kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran dan penyelewengan dana APBD.

4. Budi Antoni Aljufri, nomor urut 9 dari NasDem, dapil Sulawesi Selatan II. Mantan koruptor kasus suap penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang.

5. Eep Hidayat, nomor urut 1 dari NasDem, dapil Jawa Barat IX. Mantan koruptor kasus Biaya Pungut Pajak Bumi dan Bangunan (BP PBB) Kabupaten Subang tahun 2005-2008.

6. Al Amin Nasution, nomor urut 4 dari PDIP, dapil Jawa Tengah VII. Mantan koruptor kasus penerimaan suap dari Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Azirwan untuk memuluskan proses alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan.

7. Rokhmin Dahuri, nomor urut 1 dari PDIP, dapil Jawa Barat VIII. Mantan koruptor kasus dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan.

8. Susno Duadji, nomor urut 2 dari PKB, dapil Sumatera Selatan II. Mantan koruptor kasus pengamanan Pilkada Jawa Barat 2009 dan korupsi penanganan PT Salmah Arowana Lestari.

9. Nurdin Halid, nomor urut 2 dari Golkar, dapil Sulawesi Selatan II. Mantan koruptor kasus distribusi minyak goreng Bulog.

Sementara enam mantan koruptor lainnya mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI. Mereka di antaranya sebagai berikut:

1. Patrice Rio Capella, nomor urut 10 dari dapil Bengkulu. Mantan koruptor kasus penerimaan gratifikasi dalam proses penanganan perkara bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan penyertaan modal sejumlah BUMD di Sumatera Utara.

2. Dody Rondonuwu, nomor urut 7 dari dapil Kalimantan Timur. Mantan koruptor kasus dana asuransi 25 orang anggota DPRD Kota Bontang 2000-2004 (Saat itu Dody masih menjadi anggota DPRD Kota Bontang).

3. Emir Moeis, nomor urut 8 dari dapil Kalimantan Timur. Mantan koruptor kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, tahun 2004.

4. Irman Gusman, nomor urut 7 dari dapil Sumatera Barat. Mantan koruptor kasus suap dalam impor gula oleh Perum Bulog.

5. Cinde Laras Yulianto, nomor urut 3 dari dapil DI Yogyakarta. Mantan koruptor kasus dana purna tugas Rp 3 miliar.

6. Ismeth Abdullah, nomor urut 8 dari dapil Kepulauan Riau. Mantan koruptor kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran tahun 2004, saat menjabat sebagai ketua otorita Batam.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI