Suara.com - Kepala Unit Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup DKI Agung Pujo Winarko menilai pengelolaan sampah menjadi energi listrik atau Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter, Jakarta Utara (Jakut) berpotensi menimbulkan pencemaran udara.
Agung mengungkapkan, ada beberapa kekurangan dalam proyek ITF termasuk nilai investasi dan operasional yang tinggi. Salah satu kekurangan ITF lainnya yakni tidak bisa menerima sampah basah sementara karakter sampah di Jakarta masuk kategori sangat basah.
"Sehingga memerlukan pretreatment sampah karena sampah basah," kata Agung dalam keterangannya, Rabu (23/9/2023).
Selain itu, lanjut dia, pengolahan sampah di fasilitas ITF juga memiliki proses yang dinilai berpotensi menimbulkan polusi udara.
Baca Juga: Bikin DPRD Kecewa, Pemprov DKI Tegaskan Tak Diwajibkan Bangun ITF Sunter
Menurut Agung, kondisi ini berbeda dengan fasilitas pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif atau refuse derived fuel (RDF) Plant yang telah beroperasi di TPST Bantargebang.
"ITF juga berpotensi menimbulkan pencemaran udara dioksin dan furan, sementara residu RDF dapat dimanfaatkan dengan pengelolaan lebih lanjut," ujar Agung.
Tak hanya itu, pembangunan ITF juga disebut memakan waktu yang cukup panjang yakni 48 bulan sedangkan fasilitas RDF hanya memerlukan waktu 11 bulan.
"ITF juga bergantung kepada Kesediaan PLN membeli listrik hasil dari ITF, tetapi pendapatannya untuk operator bukan Pemprov. Namun, Pemprov harus membayar tipping fee,” katanya.
Perlu diketahui, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono memutuskan untuk memberhentikan proyek ITF Sunter.
Baca Juga: Heru Budi Tak Lanjutkan Proyek ITF Sunter, Jakpro Pastikan PMD Rp577 Miliar Belum Dipakai
Sebab, Heru menganggap proyek ini memiliki nilai investasi dan biaya operasional yang terlalu besar.
Bahkan, Pemprov DKI Jakarta mesti mengeluarkan Rp 3 triliun setiap tahun jika meneruskan proyek ITF Sunter.
Untuk itu, Pemprov DKI memutuskan untuk menghentikan proyek ITF dan fokus mengembangkan sistem RDF.