Suara.com - Nama terpidana kasus korupsi e-KTP Setya Novanto lama tak terdengar publik. Namun pada HUT ke-78 Kemerdekaan RI lalu ia kembali jadi sorotan karena menjadi salah satu tahanan Lapas Sukamiskin yang menerima remisi.
Kepala lapas Sukamiskin Kunrat Kasmiri mengatakan, tahun ini ada 237 narapidana korupsi yang menerima remisi Hari Kemerdekaan.
Ia tidak menyebut dengan pasti mengenai potongan masa tahanan yang diterima Setya Novanto. Namun menurutnya, semua napi di Sukamiskin mendapatkan pengurangan masa tahanan satu hingga enam bulan.
Lantas seperti apakah sepak terjang Setya Novanto di masa silam sehingga ia bisa mendekam di penjara? Berikut ulasannya.
Baca Juga: Meriahkan HUT RI ke-78, Smartfren Gelar Perlombaan
Setya Novanto merupakan politikus Partai Golkar. Karier politiknya cukup cemerlang sehingga ia pernah menjabat sebagai Ketua DPR RI.
Namun ia juga dikenal beberapa kali tersandung kasus hukum, di antaranya adalah:
Kasus Cessie Bank Bali (1999)
Setya Novanto mulai dikenal publik ketika ia terseret kasus pengalihan hak piutang (cessie) PT Bank Bali pada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 1999.
Kasus itu diduga merugikan negara sebesar Rp 900 miliar. Ketika itu, Bank Bali mengalihkan dana sebesar lebih dari Rp 500 miliar pada PR Era Giat Prima, di mana pemiliknya adalah Setya Novanto , Djoko Tjandra dan Cahyadi Kumala.
Baca Juga: Rayakan Hari Kemerdekaan, KAI Luncurkan KMT Edisi Khusus
Kejaksaan menjadikan Djoko Tjandra sebagai tersangka utama. Sedangkan Setya Novanto lolos berkat keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3).
Adapun Jaksa Agung yang mengeluarkan SP3 itu adalah MA Rachman yang dikenal dekat dengan Partai Golkar
Penyelundupan beras impor dari Vietnam (2003)
Setya Novanto pernah terbelit skandal penyelundupan beras asal Vietnam pada 2003, bersama salah satu politikus Partai Golkar, Idrus Marham.
Saat itu, perusahaan milik Setya Novanto, PT Hexatama Finindo, memindahkan 60 ribu ton beras yang dibeli dari Vietnam dari Bea Cukai.
Dalam melakukan hal itu, Setnov hanya membayar bea impor untuk 900 ton beras, sementara sisanya tidak dibayarkan. Dalam kasus ini ia pernah diperiksa Kejaksaan Agung pada 2006, tetapi akhirnya kasusnya meredup dan tak ada kelanjutan.
Impor limbah beracun (2004)
Pada 2006, lebih dari 1000 ton limbah beracun asal Singapura tiba di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau. Perusahaan yang mendatangkan limbah beracun itu adalah PT Asia Pacific Eco Lestari (APEL) yang ketika itu dimiliki oleh Setya Novanto.
Ketika kasus ini mencuat, Setnov mengaku telah mengundurkan diri sejak 2003. Namun dalam dokumen PT APEL yang tertanggal 29 Juni 2004, politikus Partai Golkar itu disebut sebagai pihak yang menandatangani nota kerja sama dengan perusahaan Singapura.
Kontrak tersebut bahkan menyebut jumlah 400 ribu ton pupuk untuk menyamarkan limbah yang akan diimpor ke Indonesia.
Dugaan suap pekan Olah Raga nasional Riau (2012)
Mantan bendahara Partai Demokrat M. Nazaruddin pernah menyebut kalau Setya Novanto terlibat dalam kasus korupsi proyek pembangunan lapangan tembak PON di Riau pada 2012.
Setnov yang ketika itu sudah malang melintang di Komite Olahraga Nasional Indonesia, disebut menggunakan pengaruhnya untuk menekan DPR RI untuk memuluskan anggaran PON dari APBN.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah turun tangan menanganai kasus ini dan menggeledah ruang kerja Setya Novanto pada 19 Maret 2013.
Namun ia hanya diperiksa sebagai saksi dan membantah tuduhan tersebut. Sedangkan tersangka utamanya adalah mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal.
Korupsi Pengadaan e-KTP (2013)
Masi berdasarkan kesaksian M. Nazaruddin, Setya Novanto dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, disebut sebagai pengendali utama proyek pengadaan e-KTP.
Ketika itu Setnov disebut meminta uang jasa sebesar 10 persen kepada Paulus Tannos, pemilik PT Sandipala Arthaputra yang memenangkan tender e-KTP.
Menurut Nazaruddin, uang tersebut dibagi-bagikan kepada anggota DPR untuk memuluskan proyek e-KTP.
Sementara Setnov membantah semua tudingan yang diarahkan kepadanya. Dan dalam kasus ini kerugian negara ditaksir mendapat Rp2,3 triliun.
Walau begitu, pada April 2018, mantan Ketua DPR itu divonis pidana penjara selama 15 tahun. Setya Novanto terbukti mengintervensi proses penggunaan serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP.
Skandal perpanjangan kontrak Freeport (2015)
Pada akhir 2015, Setnov mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla terkait perpanjangan kontrak Freeport.
Hal itu terungkap dalam sebuah rekaman pembicaraan yang diajukan ke pengadilan, di mana Setnov menjanjikan perpanjangan kontrak Freeport jika diberikan jatah saham.
Lalu Setnov mengajukan uji materi atas UU ITE ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK menyatakan kalau rekaman tersebut tak bisa jadi alat bukti, sehingga kasus tersebut akhirnya menguap.
Kontributor : Damayanti Kahyangan