Kado Kemerdekaan ke-78 Indonesia untuk Jelata Ibu Kota, Menghirup Udara Berujung Derita

Kamis, 17 Agustus 2023 | 07:00 WIB
Kado Kemerdekaan ke-78 Indonesia untuk Jelata Ibu Kota, Menghirup Udara Berujung Derita
Suasana Jakarta yang terlihat samar karena polusi udara difoto dari atas Gedung Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Jakarta, Selasa (25/7/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sinar matahari sudah tak lagi terik di siang yang panas di jalan-jalan ibu kota. Kabut yang menghambat sinar mentari terlihat di ketinggian, tak membuat Suhel berpikir panjang tentang apa yang terjadi dengan udara Jakarta.

Sebab, ia hanya tahu bagaimana caranya bertahan hidup untuk mendapat rezeki dari kendaraan yang dikayuhnya tiap hari. Remaja berusia 17 tahun itu hanya tahu menjajakan aneka minuman sachet-an dari atas sepeda roda duanya.

Starling atau Starbuck keliling menjadi julukan bagi pedagang seperti Suhel, lantaran menjual minuman kopi dalam bentuk sachetan yang dijual berkeliling menggunakan sepeda di jalan raya.

Ia tak menghitung seberapa banyak kayuhannya menyusuri Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin, Jakarta.

Baca Juga: Ragukan Indeks Kualitas Udara Versi IQAir, KLHK: Standarnya Berbeda dengan Indonesia

Namun kini, Suhel harus merasakan udara ibu kota yang tidak lagi ramah kepadanya.

"Sekarang di sepanjang jalan rasanya berdebu banget, terus panas banget juga," kata Suhel memulai keluh kesahnya kepada Suara.com.

Ia mengaku sejak beberapa hari terakhir, sering batuk. Namun, ia tak mau ambil pusing memikirkan sakit yang dirasanya itu.

Tidak terlintas di pikirannya untuk berobat sebab BPJS yang menjadi jaring pengaman kesehatan masyarakat tak dimilikinya.

Namun Suhel berpikir, jika beristirahat maka tidak akan mendapat pemasukan. Lantaran itu, ia tetap nekat untuk berdagang demi mendapatkan uang untuk bertahan hidup. Tapi kenyataan yang dialaminya justru terbalik.

Baca Juga: Kerek Kualitas Udara Jakarta, Pemprov DKI Kaji Efektivitas Sistem 4 in 1

"Nggak tahu kenapa akhir-akhir ini orang jarang yang beli. Penjualnya ada banyak, tapi pembelinya makin sedikit," kata Suhel.

Suhel pedagang starling di Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin, Jakarta. [Suara.com/Dea]
Suhel pedagang starling di Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin, Jakarta. [Suara.com/Dea]

Mengenai batuk yang dialaminya, Suhel lalu teringat sang ayah yang mengalami batuk yang lebih parah dibanding penyakit yang dia rasakan.

"Bapak saya batuk sampai muntah, terus pingsan," ungkap Suhel.

Suhel tidak sendirian, batuk yang dideritanya belakangan ini juga dialami Udin. Pedagang cakwe ini mengaku merasa rentan dengan penyakit pernafasan yang dirasakan dalam beberapa waktu belakangan.

Pria berusia 41 tahun yang juga perokok aktif ini mengakui beberapa waktu lalu mengalami radang tenggorokan hingga berujung batuk, pilek hingga demam. Menurutnya, baru kali ini merasakan penyakit yang belum dirasa sembuh.

Udara Kotor

"Dirasain udaranya kotor karena saya kan perokok tapi nggak pernah batuk radang, baru ini saja batuk sampai hari ini diobatin tapi nggak sembuh-sembuh," katanya sembari menggoreng satu per satu adonan cakwe ke dalam wajan berisi minyak panas.

Untuk mengatasi rasa sakit yang dialaminya, Udin mengaku hanya membutuhkan istirahat dan mengonsumsi obat yang dibelinya di warung.

Meski memiliki BPJS Kesehatan yang didapat gratis, Udin memilih tidak menggunakannya untuk berobat.

"Saya ini jarang berobat, istirahat saja. Kemarin istirahat seharian saja," ujar Udin.

Walau sampai kini belum sembuh benar, dia terpaksa harus segera kembali berjualan Cakwe. Sebab, Udin khawatir bakal mengalami kesulitan keuangan jika beristirahat lebih dari satu hari.

"Kalau di Jakarta istirahat sampai dua hari, ya bisa remuk dong keuangan," tambah Udin.

Alhasil, Udin kembali menghadapi buruknya kualitas udara ibu kota walau masih menderita radang tenggorokan.

Saat ini, Udin merasa sudah lebih baik meski masih merasa flu dan gatal di tenggorokannya.

Dampak dari buruknya kualitas udara di Jakarta tidak hanya membuat kesehatan Udin menjadi rentan terhadap penyakit, tetapi juga memengaruhi pendapatannya saat berjualan.

Udin menduga kotornya udara membuat orang-orang segan untuk ke luar ruangan dan membeli makanan di pinggir jalan.

Udin penjaja cakwe di Jalan MH Thamrin, Jakarta. [Suara.com/Dea]
Udin penjaja cakwe di Jalan MH Thamrin, Jakarta. [Suara.com/Dea]

Biasanya, banyak pembeli pada pagi hari saat kebanyakan orang melintasi Jalan MH Thamrin menuju tempat kerja masing-masing.

Namun baru-baru ini, ia merasakan jumlah pembeli yang biasa menghampirinya setiap pagi makin berkurang.

"Omzet turun kayaknya sampai 20 persen lah kurang lebih. Biasanya ramai jam-jam pagi, jam orang berangkat kerja kayaknya buat sarapan kan, sekarang lebih sedikit," katanya.

Pengalaman serupa juga dirasa Triyono pengemudi ojek online yang tinggal di Ciracas, Jakarta Timur. Ia mengaku baru saja sembuh dari penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang dideritanya.

Penyakit saluran pernapasan itu baru diketahuinya setelah berobat ke dokter, beberapa waktu lalu. Tri beruntung bisa menggunakan BPJS Kesehatan gratis yang dimilikinya untuk berobat di puskesmas dekat rumah.

"Kemarin saya sakit tenggorokan sampai amandelnya bengkak. Kata dokter, saya ISPA," katanya saat ditemui di Simpang Sarinah, Jalan MH Thamrin.

Selain sakit di tenggorokan, Tri mengaku sempat meriang dan flu. Bahkan, dia juga merasakan sakit kepala dan mengonsumsi sejumlah obat yang diresepkan dokter. Tak hanya itu, dia juga harus berisitirahat selama empat hari di rumah dengan konsekuensi tidak mendapatkan pemasukan.

Penghasilan Berkurang

Absennya Tri dari pekerjaannya membuat penghasilannya jauh berkurang. Bahkan, setelah kembali bekerja, Tri mengaku pendapatannya juga tak sebanding dengan bulan-bulan sebelumnya.

"Jalanan panas banget dan asep di mana-mana. Mungkin gara-gara itu orang jadi malas naik ojol," ucap Tri.

Sepanjang jalan, dia merasa kondisi udara memang memburuk. Bahkan di tengah kemacetan, Tri mengaku menyadari bahwa asap kendaraan makin memenuhi jalan, terlebih, pada waktu pagi dan sore hari.

"Jam-jam orang kantor berangkat dan pulang itu kan macet banget, rasanya kayak asapnya di mana-mana gitu," ujarnya.

Keluh kesah pekerja di jalan-jalan ibu kota tersebut menjadi potret yang kini menjadi sorotan publik, lantaran kondisi kualitas udara di Jakarta yang kian memburuk belakangan ini.

Kabut polusi udara menyelimuti gedung-gedung di Jakarta, Selasa (5/10/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Kabut polusi udara menyelimuti gedung-gedung di Jakarta, Selasa (5/10/2021). [Suara.com]

Menurut Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ngabila Salama, berdasarkan data Dinkes setidaknya 100 ribu warga Jakarta mengalami ISPA setiap bulannya.

"Warga DKI Jakarta terkena batuk, pilek, ISPA/pneumonia setiap bulannya rata-rata 100 ribu kasus dari 11 juta penduduk," ujar Ngabila kepada wartawan.

Ia menyebut dalam enam bulan terakhir dari Januari hingga Juni 2023 terdapat 638.291 kasus ISPA. Rinciannya, 102.609 kasus ISPA pada Januari 2023, 104.638 kasus pada Februari 2023, dan 119.734 kasus pada Maret 2023.

"April 109.705 kasus, Mei 99.130 kasus dan Juni 102.475 kasus," kata Ngabila.

Polusi Udara Terburuk

Untuk diketahui, bedasarkan data IQAir tahun 2022, Indonesia menduduki peringkat nomor 26 sebagai negara dengan polusi udara terburuk di dunia.

Per 6 Agustus 2023 lalu, Jakarta memiliki tingkat polusi tidak sehat dengan 161 AQI (indeks kualitas udara) dengan konsentrasi 8,4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan World Health Organization (WHO).

Pun pada 16 Agustus 2023, tepat sehari sebelum perayaan Kemerdekaan ke-78 Indonesia, indeks kualitas udara berada di skor 151 per jam 23.57 WIB atau berada di posisi ketiga kualitas udara terburuk, setelah Kota Dhaka dan Kuwait City.

Tentunya hingga kini membuat Kementerian Kesehatan khawatir akan meningkatnya kekambuhan serangan asma dan tumbuhnya penyakit respirasi lainnya.

"Ada sejumlah penyakit respirasi yang diakibatkan polusi udara dengan prevalensi tinggi. Polusi udara menyumbang 15-30 persen," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, beberapa waktu lalu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI