Suara.com - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, La Nyalla Mahmud Mattaliti menyebut pemilihan umum presiden atau Pilpres secara langsung sebagai politik kosmetik yang memiliki biaya mahal dan berpotensi merusak persatuan bangsa. Apa maksudnya?
"Pemilihan presiden secara langsung yang kita adopsi begitu saja, telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang (biayanya) mahal dan merusak kohesi bangsa," kata LaNyalla dalam sidang tahunan MPR di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Adapun maksudnya, saat ini, Indonesia berada pada situasi yang terbilang aneh. Di mana pencarian pemimpin nasional atau presiden berdasarkan tingkat popularitas. Lalu, sosok ini bisa difabrikasi untuk menjalankan tugas-tugas negara.
"Karena batu uji yang kita jalankan dalam mencari pemimpin nasional (presiden) adalah popularitas yang bisa di-fabrikasi," lanjutnya.
Baca Juga: Pidato di DPR, Puan Singgung Pemilu 2024: Tak Ada Artinya Kekuasaan Bila Rakyat Terbelah
Ia juga mengajak untuk menghentikan kontestasi politik yang hanya ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara liberal. Sebab, hal ini membuat kehidupan bangsa kehilangan rasa, etika, kehormatan, dan jiwa nasionalisme serta patriotisme.
La Nyalla pun menyinggung soal elektabilitas calon pemimpin yang dapat digiring melalui angka-angka survei. Di mana hasilnya ini kemudian disebarkan oleh para buzzer di media sosial dengan narasi-narasi yang biasanya berisi saling menjatuhkan.
Menurutnya, negara ini memiliki tugas yang lebih besar, penting dan mendesak ketimbang disibukkan oleh biaya mahal demokrasi ala dunia Barat. Indonesia, katanya, perlu siap mendukung siapapun pemimpinnya agar cita-cita bisa segera terwujud.
"Presiden harus mendapat dukungan penuh dari semua elemen bangsa. Sehingga percepatan terwujudnya cita-cita negara menjadi tekad bersama, seperti yang pernah kita nyatakan dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa," kata LaNyalla.
Ia berharap Indonesia bisa kembali berpegang teguh kepada Pancasila, bukan survei-survei yang menunjukkan popularitas. LaNyalla mengharapkan kesadaran itu dapat terwujud dalam momentum peringatan Kemerdekaan RI kali ini.
Baca Juga: Sambut Hari Kemerdekaan ke-78 RI, Ketua DPD: Pancasila Harus Jadi Pemersatu Bangsa
"Semoga momentum Peringatan Kemerdekaan Indonesia kali ini, dapat membangun kesadaran kolektif bangsa Indonesia, untuk kembali pada Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa secara utuh," imbuhnya.
Mengenal Survei Elektabilitas Capres
Jelang tahun politik, berbagai lembaga survei di Indonesia menyajikan data survei elektabilitas kandidat populer capres. Tiga nama yang selalu ada di peringkat teratas adalah Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo.
Dikatakan oleh pakar politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Mudiyati Rahmatunnisa, survei elektabilitas boleh dilakukan karena memiliki manfaat. Baik bagi partai dan calon kandidat itu sendiri maupun masyarakat sebagai calon pemilih.
Bagi partai politik, hasil survei elektabilitas alias survei capres dapat dipakai sebagai acuan untuk menentukan calon yang akan bersaing pada pemilu. Sementara untuk pemilih, bisa menjadikannya pertimbangan dalam memilih.
Namun, menurut Mudiyati, hasil survei elektabilitas tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya patokan dalam menentukan calon pemimpin. Masih ada kriteria lainnya, seperti rekam jejak hingga prestasi. Sebab, taruhannya adalah nasib Indonesia.
Kontributor : Xandra Junia Indriasti