Suara.com - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengungkapkan sejumlah curahan hatinya yan ia rasakan selama menjabat sebagai Presiden Indonesia.
Salah satunya adalah mengenai perasaannya menghadapi beragam komentar hingga caci maki dan hinaan yang ditujukan kepada dirinya.
Hal itu disampaikan Jokowi dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Tahunan Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023, di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta pada Rabu (16/8/2023).
Lantas apa saja curahan hati Presiden Jokowi dalam pidatonya itu? Berikut ulasannya.
Baca Juga: Gaji Pensiunan PNS dan TNI/Polri Juga Naik 12% di 2024
Tak selalu nyaman jadi presiden
Dalam pidatonya, Joko Widodo menyatakan menjadi presiden tidaklah senyaman yang diperkirakan banyak orang.
Hal itu disebabkan besarnya tanggung jawab yang harus diemban dan banyaknya persoalan masyarakat yang harus diselesaikan.
Jadi sasaran caci maki masyarakat
Jokowi juga mengatakan kalau selama menjadi presiden, dirinya selaku dijadikan sasaran caci maki masyarakat.
Baca Juga: Prabowo Jadi Presiden, Anak SD Sampai SMA Dapat Makan Siang dan Susu Gratis
Tak hanya sekadar kemarahan. Bahkan makian dan fitnah kerap diarahkan pada dirinya. Hal itu tak terlepas dari kemajuan teknologi, dimana sispapun bisa menyampaikan apapun melalui media sosial.
“Saya tahu ada yang mengatakan saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa Firaun, tolol, ya enggak apa-apa, sebagai pribadi saya menerima saja,” ujarnya.
Sedih budaya sopan santun terkikis
Menurut Jokowi, beragam cacian dan makian yang kerap kali diarahkan pada dirinya datang dari banyak orang dari beragam latar belakang.
Hal itulah yang pada akhirnya membuat Jokowi sedih, sebab budaya sopan santun dan budi pekerti di Indonesia seakan terkikis dan hilang.
"Tapi yang membuat saya sedih budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini, kok kelihatannya mulai hilang?" ujar mantan gubernur DKI Jakarta itu.
Demokrasi disalahgunakan
Tak hanya sopan santun dan budi pekerti yang terkikis, hal lain yang membuat Jokowi gusar adalah adanya upaya penyalahgunaan kebebasan dan demokrasi di masyarakat.
Menurutnya, kini kebebasan dan demokrasi justru digunakan oleh sebagian orang untuk melampiaskan kedengkian dan berbagai fitnah.
Untuk mengekspresikan hal itu, Jokowi menyebutnya sebagai polusi di wilayah budaya yang sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia.
“Cacian dan makian yang ada justru membangunkan nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas publik, bersatu menjaga mentalitas masyarakat, bersatu kita tetap melangkah maju menjalankan transformasi bangsa menuju Indonesia maju,” tutur Jokowi
Dipanggil dengan sebutan ‘Pak Lurah’
Dalam kesempatan yang sama, Jokowi juga mengaku heran karena beberapa kali ia dipanggil dengan sebutan ‘Pak Lurah’ oleh berbagai pihak.
Ia mengatakan, istilah itu seringkali ia dengar dan belakangan baru menyadari kalau sebutan itu mengacu pada dirinya.
Dengan nada agak meninggi, Jokowi lantas menegaskan kalau dirinya bukanlah seorang lurah, melainkan dirinya adalah Presiden Republik Indonesia.
"Ternyata Pak Lurah itu kode. Tapi perlu saya tegaskan, saya bukan ketua umum parpol, bukan ketua umum partai politik, bukan juga ketua koalisi partai. Saya bukan lurah, saya adalah Presiden Republik Indonesia," tegasnya.
Kontributor : Damayanti Kahyangan