Suara.com - Kerusuhan terjadi di kawasan Dago Elos, Bandung. Akibatnya, sejumlah warga terluka usai bentrok dengan aparat. Polisi bahkan turut mendobrak rumah-rumah warga dan menembakkan gas air mata. Lantas, seperti apa kronologinya?
Awalnya, warga Dago Elos mendatangi Polrestabes Bandung pada Senin (14/8/2023) sekitar pukul 11.48 WIB. Kala itu, mereka hendak membuat laporan soal dugaan tindak pidana. Mereka diketahui terancam digusur dari tempat tinggal saat ini.
Setelah berjam-jam menunggu di Polrestabes Bandung, laporan warga itu tidak diterima. Lalu, warga yang kesal, meninggalkan tempat sekitar pukul 20.00 WIB. Setibanya di depan Terminal Dago pada pukul 20.58 WIB, mereka pun melakukan blokade jalan.
Kemudian, selang beberapa menit, yakni pukul 21.45 WIB, polisi datang ke lokasi blokade. Setelah itu, kedua belah pihak bernegoisasi terkait aksi dan laporan yang sebelumnya ditolak. Hasilnya, perwakilan warga akan kembali ke Polrestabes Bandung.
Baca Juga: Surat Tanah Era Hindia Belanda di Balik Sengketa Lahan Dago Elos Bandung
Namun, pada pukul 22.50 WIB, terjadi penembakan gas air mata oleh polisi yang menggunakan sepeda motor. Hal ini memicu bentrokan dan kian memanas. Sejumlah aparat bahkan memasuki area pemukiman dan kembali menembakkan benda serupa.
Polisi pada pukul 23.20 WIB mengerahkan water canon untuk membubarkan warga. Warga sempat ingin memblokade akses masuk pemukiman, namun polisi tetap memaksa dan bertindak represif dengan mendobrak sejumlah rumah.
Lalu, hingga Selasa (15/8/2023) sekitar pukul 03.00 WIB, polisi masih melakukan pencarian dan menangkap sejumlah warga. Hal ini kerap membuat aktivitas pasar terhambat dan warga baru bisa beraktivitas secara normal pada pukul 05.00 WIB.
Duduk Perkara
Mahkamah Agung (MA) dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) pada 2022 menyatakan keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha memperoleh hak milik tanah. Sementara itu, 300 warga yang digugat terancam terkena gusur.
Baca Juga: Kecam Aksi Represif Polisi Ke Warga Dago Elos Bandung, YLBHI Desak Kapolri Evaluasi Bawahan
Warga Dago Elos dipaksa pergi dan meruntuhkan tanah yang mereka tinggali untuk diberikan kepada PT Dago Inti Graha. Namun, mereka memilih melawan serta kompak untuk menjaga pemukiman. Oleh karena itu, mereka melapor ke pihak kepolisian.
Adapun gugatan itu pertama kali dilayangkan pada November 2016. Ratusan warga digugat ke Pengadilan Negeri Bandung oleh empat pihak atas nama Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, serta PT Dago Inti Graha.
Mereka mengklaim memiliki bukti kepemilikan lahan di era Hindia Belanda sebagai warisan sang kakek, George Henrik Muller. Haknya itu lalu dipindah kepada PT Dago Inti Graha, pada 1 Agustus 2016, melalui Direktur Utama (Dirut) Orie August Chandra.
Lalu, pada 24 Agustus 2017, keluarga Muller memenangkan gugatan. Namun, bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, warga naik banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Sayangnya, warga tetap kalah dalam hak kepemilikan tersebut.
Setelahnya, warga mengajukan kasasi ke MA dengan memohon agar dua putusan awal bisa dibatalkan. Warga pun menang usai majelis hakim menyatakan hak milik keluarga Muller tidak berkekuatan hukum karena telah berakhir pada 24 September 1980.
Dengan begitu, tanah Dago Elos dinyatakan dikuasai oleh negara. Keluarga Muller atau PT Dago Inti Graha dinilai tidak berhak mengklaim. Alasannya bukan hanya hak milik yang kadaluwarsa, tetapi mereka juga tidak menempatinya secara langsung.
Kemudian, terhitung sejak 21 Januari 2021, warga mengajukan permohonan sertifikasi pendaftaran tanah kepada Kantor Agraria dan Pertanahan (ATR/BPN) Kota Bandung. Namun, hal ini tak kunjung dikonfirmasi hingga membuat mereka kembali khawatir.
Perasaan itu rupanya terjawab usai keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha mengajukan PK ke MA. Di mana hasilnya, mematahkan kemenangan singkat yang para warga raih pada 2019 lalu. Kini, mereka pun harus kembali berjuang memperebutkannya.
Kontributor : Xandra Junia Indriasti