Suara.com - Buruknya kualitas udara di Jakarta hingga berada di peringkat teratas kualitas terburuk di dunia dalam beberapa wakti belakangan ini menjadi sorotan. Bahkan, berdasarkan pengamatan dari foto udara terlihat langit Jakarta seperti berkabut karena dipenuhi polusi.
Plt Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan hal itu terjadi karena siklus harian yang memengaruhi tingkat polusi udara di Jakarta.
Polusi pekat secara visual disebutnya jadi lebih terlihat pada musim kemarau, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Menurutnya, siklus kualitas udara seperti ini telah terjadi sejak lama.
"Perlu dicermati bahwa kondisi kualitas udara itu ada siklus hariannya. Pada saat lepas malam hari hingga dini dan hari cenderung lebih tinggi dari pada siang hingga sore," ujar Ardhasena dalam konferensi pers di kantor KLHK, Jakarta Timur pada Jumat (11/8/2023).
Ia menyebut, langit menjadi terlihat berkabut karena adanya lapisan inversi. Lapisan inversi merupakan lapisan atmosfer yang hangat berada di atas lapisan atmosfer yang dingin.
"Karena kita di wilayah urban dan sekarang saat musim kemarau itu ada fenomena namanya lapisan inversi. Jadi ketika pagi, di bawah atau permukaan ini lebih dingin dibandingkan di lapisan atas," jelas Ardhasena.
Karena itu, pemandangan dari atas gedung yang masih tergolong bagian bawah langit terlihat keruh hingga berkabut.
"Sehingga, itu mencegah udara itu untuk naik dan kemudian terdispersi. Itu penjelasan mengapa Jakarta kelihatan keruhnya di bawah dibandingkan di atas karena setting perkotaan yang di mana kita semua hidup bersama," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, bedasarkan data IQAir tahun 2022, Indonesia menduduki peringkat nomor 26 sebagai negara dengan polusi udara terburuk di dunia.
Baca Juga: Kualitas Udara Jakarta Makin Buruk, PDIP Minta Heru Budi Segera Batasi Jumlah Kendaraan di Jalan
Sedangkan Jakarta, per 6 Agustus 2023 memiliki tingkat polusi tidak sehat dengan 161 AQI (indeks kualitas udara) dengan konsentrasi 8,4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan World Health Organization (WHO).
Hal ini membuat Kementerian Kesehatan khawatir akan meningkatnya kekambuhan serangan asma dan tumbuhnya penyakit respirasi lainnya.
"Ada sejumlah penyakit respirasi yang diakibatkan polusi udara dengan prevalensi tinggi. Polusi udara menyumbang 15-30 persen," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melalui keterangan tertulis dikutip Rabu (9/8/2023).