Suara.com - Direktur Eksekutif Pembina Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menyebut Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi regulasi yang paling banyak digugat di Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya menjelang Pemilu 2024.
Sejauh ini, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) hingga 105 kali. Menurut Khairunnisa, yang akrab disapa Ninis, UU Pemilu sangat berpengaruh bagi partai politik.
"UU Pemilu ini kan hidup matinya partai politik peserta pemilu. Jadi, mereka ingin variabel dalam pasal-pasal UU Pemilu itu, mana yang menguntungkan mereka," kata Ninis kepada wartawan, Jumat (11/8/2023).
Partai politik disebut memiliki simulasi yang memungkinkan mereka memperhitungkan keuntungan dan kerugian dari pasal-pasal yang dimuat dalam UU Pemilu.
Menjelang hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024, sejumlah persoalan dalam
UU Pemilu masih diuji di MK seperti masa jabatan usia calon presiden dan calon wakil presiden, masa periode anggota legislatif, dan presidential threshold (PT).
Tahapan pemilu yang sudah berjalan ini, lanjut dia, memang tidak memungkinkan terjadinya revisi UU Pemilu, sehingga sejumlah pihak mengambil langkah menguji regulasi tersebut ke MK.
"Menurut saya ya memang nggak ideal yang sekarang kalau kemudian mengubahnya ini sekarang, ya ini tahapan pemilu (sudah berjalan)," ujar Ninis.
Hal ini, kata dia, membuat MK harus melaksanakan tugas-tugas yang seharusnya diselesaikan oleh pembuat undang-undang.
Baca Juga: Jika MK Putuskan Proporsional Tertutup, Bakal Caleg Hingga UU Pemilu akan Terimbas
"Saya melihatnya MK jadi seperti jalan keluar ketika pembuat undang-undangnya tidak melakukan tugasnya," katanya.