Panji Gumilang dan Oklin Fia Sama-Sama Dituding Penistaan Agama, Seperti Apa Detailnya?

Farah Nabilla Suara.Com
Minggu, 06 Agustus 2023 | 20:32 WIB
Panji Gumilang dan Oklin Fia Sama-Sama Dituding Penistaan Agama, Seperti Apa Detailnya?
Kolase Panji Gumilang dan Oklin Fia. [Kolase]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus dugaan penistaan agama belakangan banyak diperbincangkan. Kasus ini ternyata tak hanya bisa menjerat para ahli agama seperti Panji Gumilang di Pondok Pesantren Al Zaytun, tapi juga bisa menjebloskan selebgram seperti Oklin Fia.

Seperti diketahui, kasus Panji Gumilang di Al Zaytun cukup membuat pemerintah pusing dan berhati-hati memutuskannya.

Namun, tudingan serupa mengenai dugaan penistaan agama justru mudah dilemparkan kepada Oklin Fia yang kerap beraksi nekat dengan penampilannya yang mengenakan hijab namun memakai pakaian ketat. Oklin dinilai menodai atribut muslimah dengan beraksi mendekati pornoaksi.

Lantas sebenarnya apa saja yang termasuk dalam tindak pidana penistaan agama? Simak uraian berikut untuk mengetahuinya lebih lanjut.

Baca Juga: Sosok Oklin Fia Putri, Aksi Nakal di Balik Hijab dan Baju Ketat

UU Tentang Larangan Penodaan Agama
 
Kasus penistaan agama di Indonesia mengacu pada UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama. Pasal 1 undang-undang tersebut menyatakan:
 
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
 
Pada bagian penjelasan, dinyatakan bahwa agama yang dipeluk penduduk Indonesia adalah Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu. Namun, hal ini tidak berarti agama lain seperti Shinto, Taoism, Zarazustrian, dan Yahudi dilarang di Indonesia. Agama ini diperbolehkan sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
 
Lebih spesifik, dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa jika ada pihak yang dengan sengaja melakukan larangan itu, maka akan dikenakan sanksi. Sanksinya berupa perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya melalui SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
 
Kemudian jika yang melakukan adalah organisasi atau aliran kepercayaan, maka Presiden RI dapat membubarkannya setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. Berikutnya jika masih ada pelanggaran, maka akan dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun.
 
Terdapat pasal baru dalam KUHP yakni Pasal 156a yakni sebagai berikut:
 
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a.   Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b.   Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
 
Pasal baru ini baru efektif setelah ada pembahasan di Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan. Forum ini terdiri atas Kementerian Agama, Kejaksaan, Kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN) serta tokoh masyarakat yang menetapkan suatu aliran dinyatakan sesat.
 
Sementara itu, pasal yang dikenakan terhadap Panji Gumilang adalah Pasal 14 ayat (1) UU No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 45 a ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 tahun 2016, UU No. 11/2998 tentang ITE, serta Pasal 156 a KUHP. Pasal tersebut berbunyi:
 
Pasal 14 ayat (1) UU Peraturan Hukum Pidana berbunyi, “Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
 
Pasal 28 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”
 
Pasal 45A ayat (2) UU No.19 Tahun 2016 berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 
Pasal 156 a KUHP berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”

Kontributor : Annisa Fianni Sisma

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI