Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai laporan polisi yang dilayangkan sejumlah pihak terhadap Rocky Gerung sebagai buntut mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikhawatirkan bakal menimbulkan ketakutan di masyarakat.
Lantaran itu, mereka berharap pihak kepolisian dapat menolak laporan dan menghentikan kasus tersebut.
"Kita melihat bahwa hal tersebut pada akhirnya hanya akan menimbulkan eskalasi ketakutan bagi masyarakat yang ingin menyampaikan kritiknya kepada Presiden Jokowi," kata Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS Rozy Brilian kepada wartawan, Jumat (4/8/2023).
Menurut Rozy, pernyataan Rocky sebenarnya merupakan bentuk ekspresi yang sah dan dijamin oleh undang-undang. Dalam hal ini, menurut KontraS, Rocky mengkritik kebijakan atau tindakan Jokowi selaku presiden terkait proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
"Seharusnya diskursus itu yang dibangun, diskursus baik yang pro maupun yang kontra yang dibangun. Bukan justru malah memilih jalur hukum sebagai solusi atas kritik publik. Itu yang kita kenal sebagai judicial harassment atau penggunaan instrumen hukum untuk memidanakan orang yang kritis dan menyampaikan masukkan, rekomendasi kepada pejabat publik," ujar Rozy.
Apalagi, lanjut Rozy, Jokowi sendiri pada dasarnya tidak mempersoalkan pernyataan atau kritik dari Rocky.
"Kalau misalnya ditanya apakah termasuk ke dalam perbuatan hate speech? Menurut kami bukan, kenapa? Karena yang namanya hate speech atau ujaran kebencian dia harus menimbulkan yang namanya kekerasan dan bagaimana ujaran itu punya kontekstualisasi atau punya yang namanya hubungan sebab akibat dengan kekerasan yang dimaksud," jelasnya.
Rozy kemudian berpendapat, kekinian yang membuat persoalan ini menjadi ramai justru dari kalangan pihak yang mengklaim sebagai relawan Jokowi.
"Yang bikin ramai sendiri sebetulnya adalah para pendukung presiden yang sebetulnya bisa dibilang mau mencari simpati dengan adanya pelaporan itu. Jadi kami meminta agar laporan-laporan itu ditolak oleh kepolisian dan Polda Metro Jaya dan Mabes Polri untuk selanjutnya disampaikan bahwa itu bukan merupakan tindak pidana," imbuhnya.
13 Laporan
Polri sebelumnya mengeklaim telah menerima 13 laporan terkait kasus fitnah, ujaran kebencian, dan penyebaran berita bohong atau hoaks yang diduga dilakukan Rocky terhadap Jokowi. Belasan laporan tersebut tersebar di Jakarta hingga Kalimantan.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro merincikan tiga laporan diterima di Polda Metro Jaya. Kemudian, Polda Sumatera Utara tiga laporan, Polda Kalimantan Timur tiga laporan, Polda Kalimantan Tengah tiga laporan, dan satu laporan di Bareskrim Polri.
"Saat ini ada 13 laporan polisi yang sudah diterima kepolisian dan 2 pengaduan," ungkap Djuhandhani kepada wartawan, Jumat (4/8/2023).
Seluruh laporan dan aduan tersebut, lanjut Djuhandhani, akan diambil alih Bareskrim Polri. Penyidik menurutnya kekinan tengah mendalaminya.
"Kita tarik ke Bareskrim untuk penyidikan lebih lanjut di mana kita tidak membedakan itu laporan polisi atau pengaduan karena dua-duanya ini menjadi dasar kita melaksanakan penyelidikan lebih lanjut," katanya.
Relawan hingga PDIP
Sebelumnya diberitakan, beberapa kelompok yang mengatasnamakan relawan Jokowi berbondong-bondong melaporkan Rocky buntut pernyataannya menyebut 'bajingan tolol'.
Berdasar catatan Suara.com setidaknya ada tiga laporan yang diterima Polda Metro Jaya terkait kasus ini. Ketiga laporan tersebut dilayangkan oleh, Relawan Indonesia Bersatu, Repdem dan politikus PDI Perjuangan (PDIP) Ferdinand Hutahaean juga melaporkan Rocky atas kasus serupa ke Polda Metro Jaya.
Tak hanya itu, PDIP juga turut melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri. Laporan tersebut dilayangkan oleh perwakilan tim Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat (BBHAR) DPP PDIP pada 2 Agustus 2023.
Dalam laporannya mereka mempersangkakan Rocky dengan Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE dan atau Pasal 14 dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
"Hasil diskusi kita dengan penyidik tadi, akhirnya penyidik setuju untuk menggunakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Pasal 28 Ayat 2 tentang SARA, ITE," kata Johannes Oberlin L. Tobing di Bareskrim Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (2/8/2023).