Suara.com - Kasus korupsi pertambangan ore nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara berhasil diungkap beberapa waktu lalu. Negara sampai merugi Rp5,7 triliun dan kasus ini melibatkan dua pejabat kementerian. Lantas, seperti apa kronologinya?
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana menyebut, kasus itu berawal dari kerja sama operasional (KSO) antara PT Antam dengan PT Lawu Agung Mining serta perusahaan di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Pemilik PT Lawu Agung Mining, Windu Aji Sutanto mempunyai modus dalam kasus itu. Ia menjual hasil tambang nikel di wilayah IUP PT Antam dengan dokumen Rencana Kerja Anggaran Biaya dari PT Kabaena Kromit Pratama dan perusahaan lain di Mandiodo.
Penjualan dilakukan dengan cara seolah-olah nikel itu bukan berasal dari PT Antam. Kemudian, hasil tambang ini dijual ke beberapa smelter di Morosi dan Morowali. Tindakan tersebut terus berlanjut karena PT Antam membiarkannya.
Baca Juga: 5 Fakta Pemeriksaan Airlangga Hartarto di Kejagung, Pengawal Diduga Ancam Tembak Wartawan
Menurut perjanjian KSO, semua ore nikel hasil penambangan di wilayah IUP PT Antam harus diserahkan ke PT Antam. Sementara itu, PT Lawu Agung Mining hanya menerima upah selayaknya kontraktor pertambangan. Namun, ada fakta lain yang terungkap.
PT Lawu Agung Mining diketahui mempekerjakan 39 perusahaan pertambangan sebagai kontraktor untuk penambangan ore nikel. Lalu, perusahaan milik Windu itu menjual hasil tambang menggunakan rencana kerja anggaran biaya asli, tetapi palsu.
Tim penyidik Kejati Sulawesi Tenggara lalu menetapkan Windu Aji Sutanto sebagai tersangka. Selain dirinya, empat orang lainnya pun bernasib sama. Pertama ada General Manager PT Antam Unit Bisnis Pertambangan Nikel Konawe Utara berinisial HW.
Lalu, ada AA selaku Direktur Utama PT Kabaena Kromit Pratama, GL yang merupakan Pelaksana Lapangan PT Lawu Agung Mining, serta Direktur Utama PT Lawu Agung Mining, OS. Windu Aji ditahan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejagung.
Adapun dalam waktu dekat, penahanannya bakal dipindahkan ke Kendari, Sulawesi Tenggara untuk dilakukan penyidikan. Sementara itu, kerugian negara akibat kasus tersebut diperkirakan mencapai Rp5,7 triliun. Angka ini terbilang sangat fantastis.
Di sisi lain, Ketut membenarkan penahanan itu berkaitan dengan nama yang beredar dalam kasus BTS 4G Kominfo. Namun, dalam hal ini, tersangka hanya akan berfokus pada kasus tambang ilegal yang ditangani oleh Kejati Sulawesi Tenggara.
Dua Pejabat Kementerian ESDM Jadi Tersangka
Kasus tersebut terus bergulir, hingga pada Senin (24/7/2023), Kejagung menetapkan dua tersangka baru. Mereka adalah SM, Kepala Geologi Kementerian ESDM dan EVT, Evaluator Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) Kementerian ESDM.
Berdasarkan hasil penyidikan, SM dan EVT sudah memproses penerbitan RKAB tahun 2022 sebesar 1,5 juta metrik ton ore nikel milik PT Kabaena Kromit Pratama. Ditambah sekian juta metrik ton ore nikel untuk beberapa perusahaan lain di sekitar Mandiodo.
Hal tersebut dilakukan tanpa evaluasi dan verifikasi sesuai ketentuan. Apalagi perusahaan-perusahaan itu tidak memiliki deposit atau cadangan nikel di wilayah IUP-nya. SM dan EVT selanjutnya ditahan di Rutan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
Kontributor : Xandra Junia Indriasti