Suara.com - Vokalis band The 1975, Matty Healy kembali disorot setelah ciuman dengan rekan satu grupnya, yakni Ross MacDonald. Insiden itu terjadi di atas panggung Good Vibes Festival yang diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (21/7/2023).
Aksi tersebut dilakukan Matty karena merasa marah dengan Malaysia yang tidak mendukung gerakan LGBTQ+. Imbasnya, The 1975 di-ban oleh Malaysia. Selain itu, Good Vibes Festival yang seharusnya masih akan digelar pada 22-23 Juli 2023 pun menjadi dibatalkan.
Adapun aksi ciuman Matty dengan Ross tersebut dianggap sebagai performative activism. Hal ini disampaikan oleh sebuah akun Twitter. Ia menyebut insiden The 1975 di Malaysia itu hanya menyisakan konsekuensi bagi pihak-pihak lain.
"Bagian terburuk dari insiden The 1975 adalah itu jelas-jelas merupakan performative activism. Dia (Matty) tidak melakukan apa-apa untuk mendukung penyebabnya. Ia malah membuat buruk masyarakat. Lalu, ia pulang ke rumah meninggalkan konsekuensi untuk para promoter, fans, dan jajaran lain yang akan tampil," tulis akun tersebut.
Baca Juga: Cium Sang Basis Hingga Kritik Hukum Anti LGBTQ Malaysia, Ini 6 Potret Matty Healy
Apa Itu 'Performative Activism'?
Performative activism atau aktivitas performatif adalah aksi yang dilakukan untuk meningkatkan modal sosial seseorang. Sebab, alasannya melakukan sesuatu itu bukan karena pengabdian pada suatu tujuan. Namun, demi dirinya sendiri.
Seseorang yang mengambil bagian dalam aktivisme performatif lebih senang jika mereka dikenal tidak rasis atau homophobic. Hal ini dilakukan ketimbang benar-benar berusaha mengubah struktur rasis di negara terkait yang dianggap lebih sulit.
Banyak perusahaan di dunia yang ingin mendapatkan publisitas positif sampai menempatkan pelangi (simbol LGBT) di logo mereka. Selain itu, mereka turut mensponsori parade LGBTQ Pride. Hal ini dianggap tidak benar-benar sebagai suatu dukungan.
Sebab, pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan itu juga menyumbangkan uangnya dalam jumlah besar. Tepatnya kepada legislator yang secara aktif bekerja untuk mengurangi keselamatan dan hak asasi manusia penganut LGBTQ.
Performative activism berorientasi pada pertunjukan. Dengan begitu, aktivitasnya bergantung pada gerakan simbolis, seperti pergantian foto profil hingga rutin mengunggah dukungan di media sosial. Langkah ini dilakukan agar tidak dicap berbeda atau rasis.
Misalnya saat isu #BlackLivesMatter kembali memanas pada tahun lalu usai George Floyd tewas. Orang beramai-ramai menyuarakan dukungan melalui media sosial. Mereka pun mengecam rasisme terhadap orang-orang kulit hitam.
Hal itu dilakukan karena jika tidak ikut menyampaikan dukungan, bakal dianggap tak punya empati. Meski begitu, langkah ini dinilai sebagai ajang unjuk diri bagi para influencer. Mereka disebut semata-mata hanya ingin meningkatkan performa.
Kontributor : Xandra Junia Indriasti