Suara.com - Polda Metro Jaya menangkap dan telah menetapkan 12 tersangka dalam kasus perdagangan organ ginjal jaringan Kamboja. Salah satunya Hanim (41), selaku koordinator yang menghubungkan korban atau pendonor asal Indonesia dengan pihak Rumah Sakit Preah Ket Mealea, Kamboja.
Pria asal Subang itu menceritakan bagaimana awal mula dirinya tergabung dalam sindikat perdagangan organ ginjal jaringan Kamboja ini. Berawal dari tahun 2018, Hanim yang mengalami kesulitan ekonomi mencari informasi di media sosial Facebook terkait praktik jual-beli ginjal.
"Karena faktor ekonomi, orang tua saya tidak punya rumah, kemudian saya usaha mentok juga. Akhirnya, saya cari-cari grup-grup donor ginjal. Saya cuma ngelihat postingan-postingan dari situ itu ada yang isi postingan itu 'Dibutuhkan donor ginjal A, B, AB , atau O, syaratnya ini.. ini.. ini'," tutur Hanim kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (21/7/2023).
Berbekal hasil temuan tersebut, Hanim menghubungi admin grup Facebook tersebut. Ia kemudian diminta memenuhi persyaratannya dan diarahkan untuk menemui seorang broker yang berlokasi di Bojonggede, Bogor, Jawa Barat.
Baca Juga: Mengenal RS Preah Ket Meala, Rumah Sakit Kamboja Tempat WNI Jual Ginjal Ilegal
"Setelah itu, saya langsung disuruh ke kontrakan brokernya itu di sekitaran Bojonggede," bebernya.
Hanim mengaku sempat dibawa oleh broker tersebut untuk melakukan proses transplantasi ginjal di salah satu rumah sakit di Jakarta. Namun, karena persyaratannya rumit dan tidak mendapat persetujuan dari istri proses tersebut gagal dilakukan.
"Setelah saya gagal di sana, kemudian saya menunggu di rumahnya broker itu dengan dalih saya ngomong ke istri kerja proyek. Setelah satu tahun, saya menunggu di situ," tuturnya.
Setahun kemudian pada Juli 2019 Hanim berangkat ke Kamboja dengan broker tersebut. Ketika itu, dia berangkat bersama tiga pendonor lainnya dan dipertemukan dengan seseorang bernama Miss Huang.
"Entah, apakah dia orang China atau orang Indonesia, saya kurang hafal. Pokoknya namanya Miss Huang yang mengatur di sana," ungkapnya.
Baca Juga: Terkuak! Eksekusi Perdagangan Ginjal WNI di Kamboja Dilakukan di Rumah Sakit Militer
Sebelum dilakukan tindakan transplantasi ginjal, Hanim dan tiga pendonor lainnya diminta melakukan serangkaian medical check up.
"Saya sama temen saya yang cewek lolos, yang satunya gagal," jelas Hanim.
Saat itu, Hanim mendapat calon pasien dari Singapura. Sedangkan teman wanitanya tersebut mendapat pasien asal Indonesia.
"Besoknya itu dilakukan operasi, setelah operasi masa penyembuhan sekitar 10 hari dan saya kembali ke Indonesia, saya istirahat di Indonesia sekitaran satu dua bulan. Waktu itu 2019 dibayar Rp 120 juta," jelasnya.
Diajak Jadi Koordinator
Berawal dari pendonor, Hanim kemudian diajak broker yang membawanya ke Kamboja untuk menjadi koordinator. Ia bertugas mengkoordinir calon pendonor asal Indonesia selama berada di Kamboja.
Saat kali pertama terlibat dalam sindikat itu, Hanim mengaku membawa empat orang calon pendonor. Namun, dua di antaranya dikembalikan ke Indonesia karena belum mendapat calon pasien.
"Setelah kami pulang lagi ke Indonesia, kemudian tiga mingguan saya memberangkatkan lagi sekitar enam orang termasuk dua orang yang di sana. Begitu terus prosesnya dikirim ke Kamboja," ungkapnya.
Hamin mengakui, selama ini membohongi istrinya. Ia mengaku kepadanya bekerja di Kamboja di sebuah proyek.
"Di rumah sakit itu kan ada proyek juga, kalau ibaratnya keluarga video call, ya saya ke proyek itu," akunya.
122 Korban
Sebelumnya diberitakan, sembilan dari 10 tersangka utama perdagangan organ ginjal ini merupakan mantan pendonor. Sedangkan dua di antaranya merupakan anggota Polres Bekasi Kota berinisial Aipda M dan pegawai Imigrasi Bali berinisial AH.
Selama beraksi sejak 2019 sindikat ini telah menjual 122 organ ginjal. Satu ginjal dihargai Rp200 juta.
"Total omzet penjualan organ sebesar kurang lebih Rp24,4 miliar," ungkap Direskrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol Hengki Haryadi kepada wartawan, Kamis (20/7/2023).
Sementara para tersangka, lanjut Hengki, memperoleh untung Rp65 juta dari satu organ.
"Kemudian Rp135 juta dibayar ke pendonor. Sidikat terima Rp65 juta perorang dipotong ongkos operasional pembuatan paspor, naik angkutan dari bandara ke rumah sakit dan sebagainya," katanya.