Suara.com - Situasi Panji Gumilang dan Pondok Pesantren Al Zaytun kini dibandingkan situasinya dengan kasus Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Khususnya terkait perbedaan respons pemerintah.
Sejumlah kalangan dan tokoh tengah mendesak agar pemerintah membubarkan Ponpes Al Zaytun pimpinan Panji Gumilang tersebut.
Tak hanya terkait dengan proses hukum Panji, ajaran agama yang diduga menyimpang dalam ponpes itu pun menjadi sorotan. Bahkan Panji dikaitkan dengan pendirian Negara Islam Indonesia (NII).
Berkenaan dengan hal tersebut, berikut ini beda nasib HTI dan FPI vs Al Zaytun lebih rinci.
Baca Juga: Masalah Lagi, 4 Fakta Panji Gumilang Diduga Gelapkan Uang Zakat di Al Zaytun
HTI dibubarkan pada 19 Juli 2017, sedangkan FPI ditetapkan sebagai organisasi yang terlarang serta dibubarkan pada 30 Desember 2020.
Alasan pemerintah membubarkan FPI kala itu karena anggaran dasar FPI bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait organisasi masyarakat.
Surat Keterangan Terdaftar (SPT) FPI sebagai organisasi masyarakat di Kemendagri disebut telah habis masa berlakunya pada 20 Juni 2019. Selain itu, muncul pula masalah perpanjangan perizinan.
FPI dan HTI sendiri tercatat dapat dibubarkan oleh pemerintah dengan sangat cepat. Berbeda dengan Al Zaytun, di mana ponpes tersebut tidak dibubarkan, melainkan hanya dilakukan pembinaan terhadapnya.
Islah Bahrawi, pimpinan Jaringan Islam Moderat, lantas mengungkapkan alasan perbedaan sikap pemerintah. Islah menilai banyak orang yang bergantung hidupnya ke Ponpes Al Zaytun.
Baca Juga: Dirumorkan Dekat, Panji Gumilang Akui Bangga Terhadap Soeharto: Pak Harto Itu Lain
"Apa yang terjadi di Al-Zaytun ini, banyak orang yang menyandarkan hidupnya ke Al-Zaytun. Bayangkan asetnya itu 1200 hektar dan di situ ada ribuan santri, dengan jumlah alumni ribuan yang hari ini berkarya di berbagai kegiatan masyarakat," jelas Islah melalui YouTube tvOne news.
Selain itu, Islah juga menambahkan alasan pembubaran HTI dan FPI di masa lalu karena melakukan gerakan harokah berbasis kekerasan dan kebencian. Proses pembubaran yang dilakukan pemerintah pun cukup mudah, yakni dengan tidak memperpanjang izin.
"Sangat gampang sekali, proses pembubaran HTI dan FPI ketika itu adalah dengan tidak memperpanjang izinnya, Jadi pemerintah punya kartu truf untuk menyetop izinnya, dan dengan sendirinya organisasi itu menjadi taking down," lanjutnya.
Perbedaan respons pemerintah dalam menangani HTI-FPI dengan Al Zaytun lebih rumit. Al Zaytun memiliki aset besar dan menjadi episentrum banyak orang. Di Al Zaytun, banyak sekali orang yang menimba ilmu.
Hal itulah, kata Islah, yang menjadi faktor pembeda, yakni untuk menuntut ilmu, bukan ormas politik atau gerakan pragmatisme politik.
Namun Islah menyampaikan pula meski Al Zaytun berdiri sebagai lembaga pendidikan, dalam keberlangsungannya pondok itu diubah menjadi mesin uang dan harokah politik maupun ideologi tertentu oleh Panji Gumilang.
Islah berpersan inilah waktunya pemerintah membuka celah agar dapat segera menyelesaikannya. Dalam hal ini, Kemenag wajib turut serta dengan penegakan hukum pidana atau perdata.
Kontributor : Annisa Fianni Sisma