Suara.com - Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa membagikan cerita yang paling berkesan dan sulit untuk dilupakan saat berkarier di dunia militer. Momen itu adalah saat ia menjalani operasi militer untuk menumpaskan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh Barat.
Jenderal Andika menceritakan, ia mendapat informasi dari intelijen bahwa ada seseorang yang dicurigai membantu persembunyian kelompok bersenjata GAM di wilayah Aceh Barat.
Dengan adanya informasi tersebut, Andika Perkasa dibersamai dengan 9 orang prajurit TNI pun bergegas menuju ke lokasi melalui pegunungan dan lembah dengan berjalan kaki. Mereka membutuhkan waktu selama 2 hari lamanya untuk bisa sampai ke tempat tujuan.
Sesampainya di lokasi tujuan, Andika Perkasa bertemu dengan Tengku Bantaqiah. Tengku Bantaqiah, kata Andika, merupakan penyandang disabilitas yang merupakan tokoh penting di sana.
Baca Juga: Profil Hendropriyono, Ogah Cawe-cawe Peluang Andika Perkasa Sang Menantu di Pilpres 2024
“Informasi yang saya dapat di sana ada orang bernama Tengku Bantaqiah, rupanya (Tengku Bantaqiah) orang difabel, terlahir dengan kondisi fisik yang tidak sempurna, tapi dia menjadi tokoh di sana,” ujar Andika Perkasa pada Rabu (12/7/2023).
Andika menyebut, saat melihat kondisi fisik Tengku Bantaqiah, ia ragu dan tidak yakin orang tersebut terlibat dalam gerakan separatis GAM tersebut. Hal itu membuatnya tidak ingin menggunakan cara kasar.
Sebagai gantinya, Andika menggunakan cara humanis untuk mengeruk informasi dari Tengku Bantaqiah. Salah satu langkahnya adalah menetap di sana bersama dengan 9 anggota TNI lainnya.
Namun, Andika dan rombongannya tidak menemui kejanggalan atau gerak-gerik mencurigakan yang ditunjukkan oleh Bantaqiah, khususnya dalam membantu gerakan separatis seperti informasi yang disampaikan oleh intelijen.
Andika Perkasa pun yakin jika Tengku Bantaqiah dijadikan kambing hitam, dengan kata lain dipaksa menutupi jejak kelompok bersenjata.
Baca Juga: Andika Perkasa Sebut Lebih Cocok Pilih Ganjar Ketimbang Anies, Jhon Sitorus: Jangan Mundur
Beberapa tahun berselang, setelah Andika ditugaskan di lokasi lain, ia mendapatkan kabar bahwa Teungku Bantaqiah tewas. Ia mengaku sangat terpukul dengan adanya kabar tersebut.
Mengenal sosok Tengku Bantaqiah
Teungku Bantaqiah lahir pada 20 Agustus 1948 di Desa Ulee Jalan, Keude Sumot, Kecamatan Beutong, Nagan Raya. Ia adalah keturunan ulama dari Beutong dan mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Beutong.
Untuk memperkuat dakwahnya, Tengku Bantaqiah kemudian mendirikan pesantren bernama Dayah Babul Mukarramah untuk memperkuat dakwahnya. Pesantren itu dibangun pada 1982 di Blang Meurandeh, Beutong Ateuh. Kini, pesantren itu sudah berganti nama menjadi Babul A’la An-Nurilah.
Pesantren yang didirikannya tersebut berfokus pada pengajian ilmu tauhid dan juga ilmu tasawuf.
Tengku Bantaqiah dan para pengikutnya terkenal sering vokal dalam memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat Aceh mulai tahun 1987.
Ia juga menolak untuk bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia Cabang Aceh, setelah lembaga tersebut menganggap kelompoknya sesat.
Namun, pada tahun 1990, terjadi mediasi antara MUI dan Bantaqiah yang berujung MUI memohon maaf atas perbuatannya kepada Tengku Bantaqiah.
Nasib buruk menghampiri Tengku Bantaqiah di era Soeharto. Pasalnya, ia dituduh dituduh sebagai Menteri Urusan Pangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1992, sehingga dijatuhu humuman penjara selama 20 tahun.
Setelah Soeharto turun dari jabatannya, BJ Habibie dituntut untuk membebaskan Tengku Bantaqiah. Ia pun berhasil bebas dari penjara dan kembali memimpin pesantren yang sudah lama ia tinggalkan.
Pada tahun 1999, sebuah pasukan gabungan aparat keamanan yang dipimpin oleh Letkol. Heronimus Guru dan Letkol Sudjono tiba di Beutong Ateu.
Dalam penyerangan tersebut, pasukan aparat keamanan tersebut menuduh Tengku Bantaqiah atas tuduhan mempunyai 300 pasukan, lengkap dengan senjata api dan berkaitan dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Bantaqiah diminta untuk menyerahkan seluruh senjatanya. Namun, karena merasa tidak memiliki senjata, ia membantah. Sebuah antena radio pemancar di atap pesantren juga turut dipertanyakan.
Komandan pasukan tersebut meminta agar Usman, putra Bantaqiah dicopot. Melihat sikap kasar terhadap putranya, Tengku Bantaqiah menghampiri dan memeluk putranya.
Setelah itu, ia diberondong dengan senjata api hingga tersungkur ke tanah. Pasukan tersebut juga menghabisi para santri dengan timah panas. Setidaknya, ada 31 orang yang tewas saat itu.
Kontributor : Syifa Khoerunnisa