Polemik RUU Kesehatan: Nakes Ancam Mogok Kerja Kecuali Pasien Darurat

Farah Nabilla Suara.Com
Rabu, 12 Juli 2023 | 10:39 WIB
Polemik RUU Kesehatan: Nakes Ancam Mogok Kerja Kecuali Pasien Darurat
Demonstrasi tolak RUU Kesehatan yang digelar lima organisasi profesi di depan Gedung DPR RI. (Suara.com/Dea)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (11/7/2023) kemarin. Namun sejumlah pihak menganggap pengesahan RUU Kesehatan itu terburu-buru mengingat RUU inisiatif DPR RI ini baru saja dibahas tahun lalu.

Sementara itu RUU Kesehatan mendapat pro kontra dalam perjalanan penyusunannya termasuk dari para organisasi profesi (OP). Hal tersebut terjadi lantaran ada perbedaan pendapat pemerintah dengan OP. Simak penjelasan tentang polemik RUU Kesehatan berikut ini.

1. RUU Kesehatan Resmi Jadi UU

Rapat Paripurna DPR RI ke-29 masa sidang V Tahun 2022-2023 pada Selasa (11/7/2023) resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-undang atau RUU Kesehatan menjadi UU. Rapat pengesahan RUU Kesehatan langsung dipimpin Ketua DPR Puan Maharani dengan didampingi Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Lodewijk Freidrich Paulus dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi NasDem Rachmat Gobel.

Baca Juga: Menkes Tanggapi Rencana Aksi Mogok Kerja Para Tenaga Medis: Kita Belum Tentu Selalu Sama

Rapat pengesahan itu turut dihadiri Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang mewakili pemerintah. Sebanyak 7 dari 9 fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU.

2. Alasan Demokrat dan PKS Tolak Pengesahan 

Terdapat dua fraksi yang menyampaikan penolakan terkait pengesahan RUU kesehatan yakni Demokrat dan PKS. Keduanya mengkritik keras penghapusan mandatory spending alias belanja wajib di draf RUU Kesehatan.

Menurut mereka, mandatory spending sebelum direvisi seharusnya ditambah bukan justru dihilangkan dalam UU Kesehatan. Penghapusan mandatory spending dinilai menjadi kemunduran bagi sektor kesehatan.

Selain mandatory spending, pembahasan RUU Kesehatan itu dinilai terkesan buru-buru hingga adanya indikasi liberalisasi sektor kesehatan. Walau ada penolakan, RUU Kesehatan tetap disahkan menjadi UU.

Baca Juga: Baru Disahkan, UU Kesehatan Bakal Digugat Ke MK

3. Respon Menkes Soal Dihapusnya Mandatory Spending

Menkes Budi Gunadi menanggapi keputusan dihapusnya anggaran wajib (mandatory spending) dalam UU Kesehatan. Menurut dia, ketentuan besarnya mandatory spending tidak menentukan kualitas dari keluaran (outcome) atau hasil yang dicapai. Sebagai informasi, mandatory spending merupakan pengeluaran negara yang sudah diatur dalam UU.

"Jangan kita meniru kesalahan yang sudah dilakukan banyak negara lain yang buang uang terlampau banyak," kata Budi usai menghadiri rapat paripurna pengesahan UU Kesehatan pada Selasa (11/7/2023).

Hilangnya mandatory spending dalam UU Kesehatan memang disoroti oleh banyak pihak. Salah satunya Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yang menyebut penghapusan mandatory spending sektor kesehatan sebesar 10 persen dari APBN dan APBD menjadi ketentuan yang bermasalah.

Begitu juga Founder dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih yang menyebut bahwa realita di lapangan memprihatinkan. Hal itu lantaran prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah karena dalih keterbatasan anggaran.

4. Nakes Ancam Mogok Kerja

Sementara itu massa tenaga kesehatan (nakes) mengancam akan mogok kerja terkait pengesahan RUU Kesehatan oleh DPR. Massa nakes itu tergabung dalam organisasi profesi IDI, PPNI, IBI, IAI dan PDGI.

Walau begitu mekanisme mogok kerja nasional itu tetap memperhatikan posisi vital di rumah sakit. Aksi mogok kerja itu hanya dilakukan untuk bagian-bagian tertentu. 

"Kami sudah sepakati mogok kerja kecuali di tempat-tempat critical seperti ICU, gawat darurat, kamar bedah, untuk anak-anak yang emergency, itu tidak kita lakukan," ungkap Arif Fadilah selaku ketua DPP PPNI di depan gedung MPR/DPR Jakarta.

"Tapi yang umum, yang efektif, yang bisa kita rencanakan, yang pilihan itu bisa dilakukan," tambahnya.

Kontributor : Trias Rohmadoni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI