Senada dengan ayahnya, Nur juga memanjangkan rambutnya. Bedanya, Nur menggulung rambutnya yang mulai dihiasi uban. Bagi Nur, memotong rambut sama saja tidak menghargai kenyataan bahwa usia terus bertambah.
"Kalau disemir, artinya kita tidak mengaku kalau kita sudah tua," katanya.
Ajaran Ngaji Rasa menjadi tuntutan Nur untuk terus merawat rambut. Menerima kenyataan bahwa setiap orang akan terus bertambah tua.
Ngaji Rasa pula yang membuatnya betah berpuluh-puluh tahun tinggal di Desa Krimun. Gemerlap perkotaan tak membuatnya tergoda.
"Saya nggak pernah make up, kemana pun pakai kolor, kita menghindari hal-hal yang orang lain suka. Bahaya juga main handphone itu," tuturnya.
![Gapura bertuliskan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandhu Indramayu menjadi penanda tempat komunitas Suku Dayak Indramayu tinggal. [Suara.com/Rakha Arlyanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/06/30/14929-gapura-bertuliskan-suku-dayak-hindu-budha-bumi-segandhu-indramayu.jpg)
Sejatinya tidak ada aturan baku bagaimana ajaran Ngaji Rasa ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Memberi kepada yang membutuhkan dan perasaan ikhlas setelahnya, salah satu contoh penerapan Ngaji Rasa.
"Kalau ada pengemis atau orang gila saya kasih makan. Saya nggak pernah neko-neko. Walaupun seribu rupiah yang penting saya ikhlas," ucap Nur.
Menjadi Dayak Indramayu di tengah masyarakat yang heterogen bukan tanpa tantangan. Nur berkali-kali pernah diminta untuk memeluk agama tertentu.
Meski sering disebut sebagai orang yang sesat, tapi Nur tetap setia dengan ajaran kepercayaan yang diturunkan ayahnya.
Baca Juga: Presiden Bersyukur Tol Cisumdawu Bisa Rampung
"Kemarin dikatain sesat. Memang kita tidak punya agama, tapi kepercayaan. Belajarnya Ngaji Rasa," ujarnya.