Memilih Untuk Tidak Memilih, Laku Dayak Indramayu Menghargai Perasaan Orang Lain

Selasa, 11 Juli 2023 | 14:31 WIB
Memilih Untuk Tidak Memilih, Laku Dayak Indramayu Menghargai Perasaan Orang Lain
Juru Bicara Komunitas Dayak Indramayu Wardi. [Suara.com/Rakha]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ajaran 'Ngaji Rasa' tak mau menyakiti hati dan perasaan orang lain melekat dalam kehidupan masyarakat Dayak Indramayu. Ini menjadi falsafah hidup mereka. Sehingga komunitas penghayat yang bermukim di Desa Krimun, Losarang, Indramayu, Jawa Barat ini memilih absen setiap pemilihan kepala desa, kepada daerah bahkan presiden.

FIGUR Soekarno, menjadi simbol yang paling dominan bagi orang Dayak Indramayu. Mereka memanggil Presiden Pertama Indonesia ini dengan sebutan paduka.

Nama Soekarno begitu melekat. Di Padepokan Nyi Ratu Kembar Jaya contohnya, ada foto Bung Karno yang dibingkai dan sangat mencolok. Nama Soekarno juga dituliskan di topi khas Dayak Indramayu.

Juru bicara Suku Dayak Indramayu, Wardi menuturkan dalam kepercayaan mereka, Soekarno merupakan simbol perjuangan. Perjuangan untuk menata kehidupan menjadi lebih baik.

Baca Juga: Presiden Bersyukur Tol Cisumdawu Bisa Rampung

Selain itu, Soekarno identik dengan ajaran masyarakat Jawa dan kehidupan masyarakat pertanian.

Tak sampai di situ, bagi orang Dayak Indramayu Bung Karno merupakan satu-satunya presiden Republik Indonesia yang mencapai pucuk kepemimpinan tanpa adanya pertarungan antara kalah dan menang.

Selayaknya ajaran Ngaji Rasa diamalkan, jangan menyakiti orang lain jika tidak ingin merasa disakiti balik. Dalam pandangan mereka, Pemilu memungkingkan timbulnya rasa kecewa dan sakit hati bagi orang yang mengalami kekalahan.

Oleh sebab itu, Wardi menyebut sudah beberapa periode presiden orang Dayak Indramayu tidak menggunakan hak politiknya. Mulai pemilihan kepala Kuwu atau Desa, hingga pemilihan presiden.

"Lebih baik kami tidak memilih calon ini atau calon itu. Sebab kami tidak ingin menyakiti siapapun," ujar Wardi saat ditemui Suara.com di Desa Krimun, Rabu (21/6/2023).

Baca Juga: UNIK! Dulunya Danau, Kini Daerah di Jawa Barat Ini jadi Tempat Tinggal, Lokasinya Sekitar 2 Jam dari Jakarta

Komunitas Dayak Indramayu menggelar ritual di Malam Jumat Kliwon. Selain membacakan kidung bersama-sama, Malam Jumat Kliwon menjadi ajang mereka berkumpul sesama penganut kepercayaan penghayat tersebut. [Suara.com/Rakha Arlyanto]
Komunitas Dayak Indramayu menggelar ritual di Malam Jumat Kliwon. Selain membacakan kidung bersama-sama, Malam Jumat Kliwon menjadi ajang mereka berkumpul sesama penganut kepercayaan penghayat tersebut. [Suara.com/Rakha Arlyanto]

Perangkat Desa Kuwu Krimun bagian kader perempuan, Nia menuturkan semua anggota Dayak Indramayu sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sejak 2013. Tetapi tidak semua orang Dayak Indramayu merupakan warga Desa Krimun.

Secara administrasi, kelompok ini tidak terdaftar resmi di Desa. Mereka hanya dianggap sebagai komunitas kebatinan lokal khas Desa Krimun.

Tak jarang, otoritas setempat mulai dari perangkat kabupaten hingga provinsi berkunjung ke Desa Krimun hanya untuk sekedar menjawab rasa penasaran tentang Dayak Indramayu.

Kata Nia, ada pengecualian bagi orang Dayak Indramayu khususnya Dayak Alami untuk membuat kartu identitas. Mereka diperbolehkan bertelanjang dada. Sebab aparat desa sudah memahami hal tersebut sebagai kepercayaan yang harus senantiasa dilestarikan.

Karena ada beberapa orang anggota Dayak Indramayu terdaftar sebagai warga Krimun, maka pemerintah Desa juga wajibkan memberikan bantuan selayaknya warga Desa lainnya.

"Dapat bantuan dari pemerintah contohnya kayak BPNT, BLT juga ada diseleksi," ucap Nia.

Nia mengakui jika selama ini orang Dayak Indramayu tidak pernah berbuat tindakan yang menyusahkan aparat Desa. Meskipun mereka tidak pernah menggunakan hak politiknya dalam memilih kepala Kuwu.

Setelah wawancara dengan Nia, Wardi memanggil aku untuk mengambil makanan di dapur. Katanya, aku harus mencoba urap andalan orang Dayak Indramayu yang terkenal dimasak secara alami.

"Ayo makan dulu, sebelum gelap," ucap Wardi dari arah Pesanggrahan.

Dengan lauk urap, oncom goreng, dan sayur asem, aku melahap isi piring sampai habis tak tersisa.

Hidup Bersahaja

Nur, begitu panggilannya. Anak kedua dari Takmad ini tengah menggiling kacang tanah untuk lotek dagangannya ketika aku singgah di warungnya, Kamis (22/6) sore. Dia salah seorang wanita Dayak Indramayu yang beruntung dimuliakan oleh suaminya dari golongan Dayak Alami.

Nur sendiri merupakan Dayak Preman, karena masih menggunakan pakaian berwarna. Kehidupannya sehari-hari tak jauh berbeda dengan wanita seusianya. Mengantar anak sekolah, menyiapkan kebutuhan rumah, memasak dan berjualan.

Menjadi anak Takmad, tidak membuatnya merasa lebih agung dibanding anggota Dayak Indramayu lainnya. Nur tetap bergaul selayaknya warga Desa Krimun biasa.

"Belajarnya Ngaji Rasa sesama masyarakat berbaur gitu," ucap Nur.

Perbincangan bersama Nur ditemani hembusan angin utara dan kicauan burung. Menikahi Amirudin sejak 1977 membuatnya merasakan perubahan hidup suaminya.

Pernikahan mereka masih menggunakan tata cara Islam. Sebab di Dayak Indramayu sendiri belum ada aturan rijit mengenai pernikahan.

Amirudin awalnya warga biasa yang kemudian bergabung menjadi bagian kelompok Dayak Indramayu. Ketika aku mewawancarai Nur, Amirudin tampak menggantikan tugas istrinya melayani pembeli lotek.

Sebagai istri seorang Dayak Alami, Nur merasa tersanjung. Sehari-hari Amirudin selalu membantunya mengurusi kebutuhan rumah tangga.

Meski berbeda dalam urusan makan, Nur, Amirudin dan kedua orang anaknya tidak pernah bertikai dalam urusan perut. Apa pun yang dihidangkan di meja makan, pasti dilahap.

"Apa adanya, kita cuma makan tempe, tahu, sayur sudah cukup. Jadi kita menikmati," jelas Nur.

Senada dengan ayahnya, Nur juga memanjangkan rambutnya. Bedanya, Nur menggulung rambutnya yang mulai dihiasi uban. Bagi Nur, memotong rambut sama saja tidak menghargai kenyataan bahwa usia terus bertambah.

"Kalau disemir, artinya kita tidak mengaku kalau kita sudah tua," katanya.

Ajaran Ngaji Rasa menjadi tuntutan Nur untuk terus merawat rambut. Menerima kenyataan bahwa setiap orang akan terus bertambah tua.

Ngaji Rasa pula yang membuatnya betah berpuluh-puluh tahun tinggal di Desa Krimun. Gemerlap perkotaan tak membuatnya tergoda.

"Saya nggak pernah make up, kemana pun pakai kolor, kita menghindari hal-hal yang orang lain suka. Bahaya juga main handphone itu," tuturnya.

Gapura bertuliskan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandhu Indramayu menjadi penanda tempat komunitas Suku Dayak Indramayu tinggal. [Suara.com/Rakha Arlyanto]
Gapura bertuliskan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandhu Indramayu menjadi penanda tempat komunitas Suku Dayak Indramayu tinggal. [Suara.com/Rakha Arlyanto]

Sejatinya tidak ada aturan baku bagaimana ajaran Ngaji Rasa ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Memberi kepada yang membutuhkan dan perasaan ikhlas setelahnya, salah satu contoh penerapan Ngaji Rasa.

"Kalau ada pengemis atau orang gila saya kasih makan. Saya nggak pernah neko-neko. Walaupun seribu rupiah yang penting saya ikhlas," ucap Nur.

Menjadi Dayak Indramayu di tengah masyarakat yang heterogen bukan tanpa tantangan. Nur berkali-kali pernah diminta untuk memeluk agama tertentu.

Meski sering disebut sebagai orang yang sesat, tapi Nur tetap setia dengan ajaran kepercayaan yang diturunkan ayahnya.

"Kemarin dikatain sesat. Memang kita tidak punya agama, tapi kepercayaan. Belajarnya Ngaji Rasa," ujarnya.

Nur terharu ketika kembali menceritakan momen tersebut. Baginya, tidak ada jaminan untuk seseorang pemeluk agama bisa melakukan perbuatan selayaknya orang Dayak Indramayu.

Tiga Golongan

Di Suku Dayak Indramayu sendiri dibagi atas tiga golongan, yakni Dayak Alami, Dayak Preman dan Dayak Seragam. Dayak Alami menjadi kelompok yang paling gampang dikenali lewat tampilan mencolok seperti bertelanjang dada, bercelana hitam putih serta menggunakan kalung dan gelang.

Sementara Dayak Seragam merupakan anggota kelompok Dayak Indramayu yang menggunakan celana berwarna hitam-putih namun menggunakan atasan berwarna hitam yang mirip dengan atasan perguruan silat.

Sedangkan Dayak Preman, tidak tampak bedanya dengan warga Desa Krimun lainnya. Anggota kelompok ini menggunakan kaos maupun baju berwarna.

Mayoritas anggota Dayak Alami berprofesi sebagai petani. Mereka hanya memakan tumbuhan dan tidak memakan hewan. Pantangan memakan hewan itu menjadi kepercayaan bagi Dayak Alami untuk membersihkan tubuh.

Sementara Dayak Seragam dan Dayak Preman mengkonsumsi makanan seperti halnya masyarakat pada umumnya.

Pembedaan anggota kelompok Dayak Indramayu bukan merupakan sistem kasta seperti yang ada di ajaran agama Hindu. Tak ada paksaan bagi penganut ajaran Ngaji Rasa untuk menjadi Dayak Alami.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI