Suku Bali Aga Menjaga Tradisi Leluhur Pulau Dewata

Chandra Iswinarno Suara.Com
Jum'at, 30 Juni 2023 | 23:35 WIB
Suku Bali Aga Menjaga Tradisi Leluhur Pulau Dewata
Wisatawan mancanegara menyaksikan dari dekat kuburan tradisional Suku Asli Bali di Pemakaman Desa Terunyan Kabupaten Bangli. [Suara.com/Binar Sebaya]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Setelahnya, warga menggelar upacara memohon kepada dewa yang beristana di Pura Dalem dan Pura Prajapati Terunyan. Ritual ini terkait lepas dan masuknya roh ke simbol yang disebut dengan pangawak itu.

"Kenapa kami tidak ngangkid atau mengambil tulang di kuburan? karena yang kami aben itu roh. Kami yakini jazad sudah melebur ke elemen-elemen pembentuknya. Jadi apa yang diwariskan oleh leluhur sudah mewakili intisari-intisari dalam ritual kami saat ini," jelas Jro Baskara.

"Kami tidak melaksanakan pembakaran. Apapun tidak bisa dibakar, walaupun sampah sisa upacara yadnya sebelum acara benar-benar tuntas, kami pantang membakar. Untuk ngaben sisa upacara hanya bisa dibakar setelah 12 hari atau saat ngeroras," paparnya.

Ngaben dengan mengangkut bade dan orang menyeberang danau menuju kuburan bukan hal mudah. Tragedi yang merenggut sembilan nyawa tercatat tahun 1986. Kala itu, pengiriman bade ke kuburan berjalan dengan lancar. Peristiwa justru terjadi saat mereka pulang.

Matahari sudah terbenam, langit pun kian gelap. Dalam perjalanan pulang itu, seorang anak tiba-tiba melompat dari perahu. Ia mendengar suara benturan antara kayu yang biasanya menandakan perahu sudah tiba di dermaga. Warga lainnya menyusul melompat mengikuti anak itu.

Namun ternyata, perahu masih berjarak 20 meter lebih dari dermaga. Air pun ternyata masih dalam. Sebagian yang bisa berenang selamat. Namun tidak untuk sembilan orang itu. Mayat mereka ditemukan mengapung keesokan harinya.

"Tidak akan terjadi andai saja para korban tidak ikut-ikutan melompat. Waktu itu sudah jam tujuh petang, sudah gelap dan saat itu belum ada listrik. Untuk listrik baru masuk tahun 1992. Kami saat itu memakai strongking," kisahnya.

"Seorang anak bilang sudah sampai daratan karena sudah ada tanda benturan dengan rakit lainnya, ternyata itu patok bukan perahu. Jaraknya masih 20 meter dari daratan, air masih dalam. Sembilan orang meninggal setelah datang dari ngaben. Korbannya mereka yang tidak bisa renang," kenang Jro Mangku Baskara.

Artikel ini merupakan hasil liputan Binar Sebaya.

Baca Juga: Kemensos Kirimkan Bantuan untuk Pendirian Lumbung Sosial di Trunyan Bali

REKOMENDASI

TERKINI