Suara.com - Suku Bali Aga diyakini menjadi suku asli yang hidup di Pulau Dewata. Tinggal di kawasan pegunungan, Bali Aga kerap mendapat stigma negatif. Meski begitu, tradisi leluhurnya masih kuat dijaga di salah satu desa adat kuno, Terunyan.
PRIA berjanggut panjang dengan ikat kepala dan pakaian serba putih duduk di sebuah balai. Ia menatap ke arah pura yang berdiri tepat di depan dermaga penyeberangan. Jro Mangku Baskara nama pria itu.
Dari celah candi, ia melihat lalu lalang boat dan perahu dayung. Sebagian mengangkut wisatawan, sebagaian lagi kosong. Anak-anak telanjang dada bermaian di danau. Mereka melompat dari perahu ke perahu, kemudian meceburkan diri selanjutnya meminta wisatawan melemparkan uang.
"Ngunali guntung nak cerike ene (bandelnya anak-anak ini)," katanya berbahasa khas memarahi bocil-bocil danau yang belum kering badannya sudah berlarian bermainan layangan.
Baca Juga: Kemensos Kirimkan Bantuan untuk Pendirian Lumbung Sosial di Trunyan Bali
Jro Baskara merupakan salah satu pemuka agama di Desa Adat Terunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Sebuah desa tua yang namanya mendunia atas khazanah kearifan lokal. Desa tua dengan karakter masyarakat konservatif terhadap nilai-nilai yang diwariskan leluhur.
"Desa kami desa Bali kuno, Bali Aga atau Bali Mula. Desa tua di antara desa-desa yang ada di Bali. Desa kami terpencil dan bisa dibilang masih terisolasi," ujar Jro Mangku yang bertugas memimpin upacara di Pura Pancering Jagat Terunyan ini.
Siang itu, ponsel Jro Baskara berdering. Ia kemudian berbincang dengan tetua adat lainnya. Mereka membahas hal ihwal upacara yang sedang dipersipakan. Sinyal provider di desa yang terletak di kaki bukit timur Danau Batur ini cukup kuat.
Warga Terunyan sekarang sudah melihat berbagai hal yang terjadi di luar sana melalui media sosial. Mereka pun sudah tak asing dengan teknologi, mereka tahu apa yang namanya viral. Setelah menyelesaikan obrolan dengan tetua adat lainnya, Jro Baskara kemudian menceritakan ihwal desanya.
"Jumlah penduduk Desa Terunyan sekarang 850 KK (kepala keluarga) dengan jumlah jiwa berkisar 3.000 orang. Geografis Desa Terunyan luasnya 1963 kilometer persegi dengan kondisi berbukit dan berada di ketinggian 1.500-2.500 mdpl (meter di atas permukaan air laut)," tuturnya.
Baca Juga: Kodim dan Polres Bangli Gotong Rotong Buka Jalan ke Desa Trunyan yang Tertutup Longsor
Desa Adat Terunyan terdiri dari enam dusun, selain Dusun Terunyan, ada Dusun Cemara Landung, Madya, Bunut, Puseh dan Dusun Mukus. Mereka tinggal di tepi danau, sebagian lagi tinggal di balik bukit. Namun pada waktunya mereka akan disatukan dalam ritual-ritual.
Meski desa ini tradisional, warga sangat terbuka. Mereka ramah menyapa setiap yang datang. Wisatawan domestik maupun mancanegera terlihat lalu lalang. Ada yang naik dan turun bukit setelah mendaki. Ada yang langsung menju dermaga untuk menyeberang ke destinasi.
Begitu juga saat ritual-ritual tertentu. Tak hanya warga lokal, mereka yang dari luar desa juga ramai datang untuk melihat. Wisatawan sudah pasti. Namun syaratnya, pengunjung harus sopan dan respek dengan tanah yang mereka injak.
Menyantap Hidangan di Samping Jenazah
Warga Terunyan bukan orang-orang primitif, namun cenderung konservatif. Mereka hidup berpegangan pada filosofi Gugon Tuwon. Dengan kata lain, narasi-narasi yang diwariskan leluhur adalah hal yang harus dilanjutkan.
Puncak validasi rasa hormat dan ketulusikhlasan, ada pada tradisi Masatya. Tradisi yang dilakukan tepat 12 hari setelah upacara Ngaben. Seluruh anggota keluarga tak ragu-ragu menyantap hidangan yang diletakkan berjejer dari pintu masuk kuburan hingga samping jenazah.
Ada hal yang perlu diingat, jenazah di Desa Adat Terunyan tidak dikubur, hanya diletakkan di atas tanah. Begitulah warga Desa Adat Terunyan menjalankan tradisi. Masatya yang dimaknai sebagai penghormatan terakhir untuk almarhum.
Tradisi Masatya adalah waktu terbukanya portal larangan. Kaum perempuan dari anak-anak sampai nenek-nenek dilarang masuk kuburan Desa Adat Terunyan. Warga mempercayai, jika perempuan ke kuburan, maka perempuan itu akan menguasai magis ilmu Leak.
"Saat 12 hari setelah Ngaben, atau namanya ngerorasin, perempuan boleh ke kuburan. Baik itu anak-anak sampai tua. Di kuburan dilaksanakan upacara Masatya, memberi penghormatan terakhir kepada leluhur yang diaben," ujar Jro Baskara.
"Tata caranya menaruh gibungan (makanan) dari pintu masuk kuburan sampai samping mayat. Saat masuk kuburan, semua keluarga mengambil makanan gibungan ini untuk dimakan. Begitu juga saat keluar dari area kuburan, ambil makan lagi," tuturnya.
"Hanya saat itu perempuan diizinkan ke kuburan melihat sepuasnya. Masatya adalah bentuk keyakninan bahwa rasa ikhlas kami menghabiskan biaya besar dalam upacara ngaben agar tidak diragukan. Simbolnya makan di kuburan yang sebenanrnya tidak etis, tapi kami melakukan dengan tulus," paparnya.
Desa Adat Terunyan memiliki tiga kuburan dengan fungsinya masing-masing. Dari semua itu, hanya satu yang misterinya sampai pada kesimpulan semua berkat pohon Taru Menyan. Pohon tersebut tumbuh di area kuburan bernama Sema Wayah.
Mayat-mayat warga Desa Adat Terunyan di Sema Wayah hanya digeletakkan saja. Dalam istilah lokal disebut Mapasah. Mayat hanya dipasang pagar bambu bernama ancak saji. Dari arah pintu masuk kuburan, mayat-mayat itu berjejer di sebelah kiri pohon besar Taru Menyan.
Sedangkan di tengah-tengahnya, tengkorak manusia dirangkai menumpuk. Sisa sajen pun menggunung. Suara lalat yang menghinggapi jenazah masih terdengar di antara riuh daun tertiup angin danau.
Ajaibnya, bau busuk mayat manusia di Sema Wayah tak tercium. Warga meyakini, aroma busuk netral oleh Taru Menyan. Pohon Taru Menyan itu juga yang menjadi cikal bakal nama Desa Terunyan.
"Pohon Taru Menyan hanya ada satu di Sema Wayah. Di kuburan lainnya tidak ada. Pohon ini sudah ada sebelum desa kami ada. Nama desa kami diambil dari nama pohon itu," jelas Jro Baskara.
"Total ada enam kuburan di desa ini, namun yang unik tiga kuburan. Walupun ada beberapa dusun menguburkan mayat, namun yang paling beda yang sering dikunjungi wisatawan yaitu Sema Wayah. Mayat di Sema Wayah tidak ada yang berbau," ungkapnya.
Sema Wayah difungsikan untuk memakamkan jenazah warga adat yang meninggal dalam kondisi normal secara fisik, dan sudah dewasa serta telah berkeluarga. Sema Wayah adalah satu-satunya kuburan yang dibuka untuk wisatawan.
Dua kuburan lainnya adalah Sema Nguda dan Sema Bantas. Jro Baskara mengatakan, Sema Nguda adalah kuburan yang difungsikan untuk memakamkan jenazah bayi dan warga yang meninggal muda atau orang dewasa yang belum menikah.
Di sini ada dua tata cara penguburan. Khusus bayi yang belum tanggal gigi, mayatnya akan dikubur di kaki bukit. Sedangkan mayat warga yang belum menikah hanya diletakkan di atas tanah. Karena tak ada Taru Menyan, tentu bau busuk tericum menyegat di kuburan ini.
Sema Bantas merupakan kuburan khusus untuk memakamkan warga adat yang meninggal karena kecelakaan, bunuh diri, atau dalam kondisi cacat fisik.
Warga Hindu menyebutnya dengan istilah Salah Pati atau Ulah Pati. Kuburan ini berlokasi di batas desa. Mayat tersebut dikubur dalam-dalam.
"Kami juga punya area bernama Tantan Buni, tempat menggantung ari-ari (plasenta). Di desa lain, ari-ari biasanya ditanam di halaman rumah. Namun kami di sini apabila ada warga melahirkan, ari-ari anaknya digantung di area Tantan Buni," jelasnya.
Bade Mengapung di Danau Batur
Satu-satunya akses untuk masuk ke tiga kuburan di Desa Adat Terunyan hanya dengan transportasi air. Dari demarga ke kuburan rata-rata ditempuh 10 sampai 20 menit dengan perahu dayung. Kalau memakai boat, akan lebih cepat.
Ngaben atau upacara pengembalian lima elemen dasar pembentuk badan manusia, berlangsung tidak biasa di Desa Adat Terunyan. Bade sebagai sarana yang akan membawa simbol jenazah, juga harus diseberangkan menuju Sema Wayah.
Kelompok transportasi Danau Batur di Desa Terunyan turun tangan khusus membantu warga yang menggelar upacara ngaben. Satu per satu perahu dirangkai agar kuat menyeberangkan bade sekaligus keluarga atau tokoh-tokoh adat yang terlibat.
Seiring berjalannya waktu, kini biasanya warga merangkai bambu untuk mengangkut bade. Pelampung direkatkan di bagian tepi atau bawah bambu kemudian dilanjutkan dengan memasang mesin perahu. Setelah sampai di Sema Wayah, bade tersebut ditenggelamkan dengan posisi terbalik.
"Untuk Ngaben kami memang membutuhkan dana yang besar. Sarana dan prasarana beda dengan di darat. Mengangkut bade kami membuat rakit khusus. Kalau dulu ada beberapa sampan yang dirangkai. Sekarang sudah membuat rakit dari bambu berisi pelampung dan memakai mesin perahu," jelas Jro Baskara.
Jika Ngaben di desa lainnya berakhir dengan pembakaran mayat, ini tidak berlaku di Desa Adat Terunyan. Tak ada prosesi pengambilan mayat atau tulang untuk dibakar.
Nama almarhum dituliskan dalam sehelai daun lontar kemudian dirangkai bersama kayu cendana dan janur. Itulah jenazah yang disimbolkan.
Setelahnya, warga menggelar upacara memohon kepada dewa yang beristana di Pura Dalem dan Pura Prajapati Terunyan. Ritual ini terkait lepas dan masuknya roh ke simbol yang disebut dengan pangawak itu.
"Kenapa kami tidak ngangkid atau mengambil tulang di kuburan? karena yang kami aben itu roh. Kami yakini jazad sudah melebur ke elemen-elemen pembentuknya. Jadi apa yang diwariskan oleh leluhur sudah mewakili intisari-intisari dalam ritual kami saat ini," jelas Jro Baskara.
"Kami tidak melaksanakan pembakaran. Apapun tidak bisa dibakar, walaupun sampah sisa upacara yadnya sebelum acara benar-benar tuntas, kami pantang membakar. Untuk ngaben sisa upacara hanya bisa dibakar setelah 12 hari atau saat ngeroras," paparnya.
Ngaben dengan mengangkut bade dan orang menyeberang danau menuju kuburan bukan hal mudah. Tragedi yang merenggut sembilan nyawa tercatat tahun 1986. Kala itu, pengiriman bade ke kuburan berjalan dengan lancar. Peristiwa justru terjadi saat mereka pulang.
Matahari sudah terbenam, langit pun kian gelap. Dalam perjalanan pulang itu, seorang anak tiba-tiba melompat dari perahu. Ia mendengar suara benturan antara kayu yang biasanya menandakan perahu sudah tiba di dermaga. Warga lainnya menyusul melompat mengikuti anak itu.
Namun ternyata, perahu masih berjarak 20 meter lebih dari dermaga. Air pun ternyata masih dalam. Sebagian yang bisa berenang selamat. Namun tidak untuk sembilan orang itu. Mayat mereka ditemukan mengapung keesokan harinya.
"Tidak akan terjadi andai saja para korban tidak ikut-ikutan melompat. Waktu itu sudah jam tujuh petang, sudah gelap dan saat itu belum ada listrik. Untuk listrik baru masuk tahun 1992. Kami saat itu memakai strongking," kisahnya.
"Seorang anak bilang sudah sampai daratan karena sudah ada tanda benturan dengan rakit lainnya, ternyata itu patok bukan perahu. Jaraknya masih 20 meter dari daratan, air masih dalam. Sembilan orang meninggal setelah datang dari ngaben. Korbannya mereka yang tidak bisa renang," kenang Jro Mangku Baskara.
Artikel ini merupakan hasil liputan Binar Sebaya.