Suara.com - Dayak Indramayu menjadi salah satu komunitas penganut kepercayaan yang masih bertahan hidup, tak jauh dari keramaian roda-roda yang menggilas aspal Jalur Pantura. Ngaji rasa menjadi ajaran dasar Dayak Indramayu dalam menghormati perempuan dan alam.
SIANG yang terik dan hawa panas khas pinggir pantai utara kawasan Pulau Jawa terasa di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Ditemani seorang pemuda Dayak Indramayu bernama Awi, saya mendekat ke arah Takmad pendiri kepercayaan Dayak Losarang yang sedang santai di pinggir kali.
Takmad tengah memperhatikan pengikutnya menanam singkong di lahan seluas 100 x 20 meter. Dengan rambut gondrong yang sudah putih termakan usia, dia melempar senyum ke arah saya.
Kulitnya legam karena sudah bertahun-tahun tidak menggunakan baju. Hanya celana berwarna hitam di sisi kaki kanan dan putih di sisi kaki kiri yang melekat tubuhnya.
Serupa dengan Takmad, tiga pria terlihat sedang menancapkan batang singkong sambil bertelanjang dada. Hanya celana hitam-putih yang tidak sampai menutupi mata kaki menghias di tubuhnya.
Dari Takmad pula, ajaran Ngaji Rasa bermula. Secara umum, Ngaji Rasa merupakan ajaran kepercayaan yang mencakup etika kehidupan Suku Dayak Indramayu. Yang berarti sedapat mungkin melepaskan perasaan ke dalam diri pribadi untuk menemukan pengetahuan dan kebenaran.
Ajaran ini mengedepankan sumber kebenaran pada naluri kemanusiaan. Seperti tidak menyakiti antar sesama manusia dan saling membantu.
"Ibarat kata, kalau tidak ingin merasakan sakitnya dicubit ya jangan cubit orang lain," kata Wardi, Juru Bicara Dayak Indramayu, saat ditemui di Desa Krimun, Rabu (21/6/2023).
Baca Juga: Menyisir Jejak Leluhur dan Jati Diri di Hindu Mangir
Praktik Ngaji Rasa juga tidak mengedepankan nafsu dan ego pribadi. Sebagai contoh, jangan dulu menasihati orang lain terhadap suatu perbuatan tapi pelajari diri sendiri untuk berbuat salah dengan tujuan mencari kebenaran.