Isu redenominasi kini menjadi perbincangan hangat di kalangan publik. Ini setelah Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengaku sudah menyiapkan rencana terkait dengan adanya redenominasi rupiah.
Redenominasi sendiri merupakan penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya, contohnya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Perry menuturkan bahwa adanya keputusan redenominasi ini nantinya harus menunggu waktu yang tepat. Tak hanya itu, disebutkan oleh Perry, ada tiga faktor yang bisa menentukan redenominasi rupiah mampu direalisasikan atau tidak, diantaranya yaitu:
- Kondisi ekonomi makro bagus
- Kondisi kebijakan moneter stabil
- Kondisi sosial politik yang mendukung
Suara.com - Perry menyebut bahwa kondisi perekonomian Tanah Air sudah baik, tetapi ia menyebut bahwa Indonesia tetap memerlukan momen yang juga tidak kalah baik.
Baca Juga: Haji Faisal Akui Mantan Manajer Fuji Gelapkan Uang Miliaran Rupiah
Pengamat ekonomi juga memberikan komentar terkait dengan adanya wacana redenominasi rupiah tersebut, khususnya memperingatkan adanya sejumlah risiko yang membayangi apabila redenominasi dilakukan.
Lantas, apa sajakah risiko dari redenominasi rupiah tersebut? Simak informasi lengkapnya berikut ini.
Belum bisa dilakukan dalam jangka waktu dekat
Direktur dan Ekonom Center ot Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menyebut, redenominasi memang mempunyai manfaat positif, tetapi masih belum bisa dilakukan dalam jangka waktu dekat.
Manfaat positif redenominasi
Tak hanya memiliki risiko yang buruk, redenominasi rupiah juga memiliki sejumlah manfaat positif menurut Bhima, adapun manfaat tersebut diantaranya yaitu:
- Meningkatkan efisiensi transaksi keuangan
- Penyederhanaan laporan keuangan
- Mencegah kesalahan penghitungan uang tunai karena nominal yang terlalu banyak.
Meski demikian, Bhima tetap memberikan peringatan apabila BI memang masih mau melakukan redenominasi sebaiknya harus membuat roadmap dahulu sehingga masyarakat dan para pelaku usaha bisa bersiap-siap.
Adanya risiko hiperinflasi
Bhima menyebut, sejumlah pertimbangan sebelum melakukan redenominasi. Salah satunya terkait dengan stabilitas inflasi yang harus tetap terjaga.
Kondisi ideal untuk melakukan redenominasi merupakan apabila inflasi kembali ke level pra pandemi, atau berada di kisaran 3 persen, bahkan lebih rendah dari angka tersebut.
Lebih lanjut, Bhima menjelaskan, apabila redenominasi tetap dilaksanakan saat kondisi inflasi masih tinggi, ia khawatir akan terjadi hiperinflasi.
Ia memberikan contoh, misal ada harga barang sebelum terjadi pemangkasan nominal uangnya sebesar Rp 9.200, pada saat redenominasi tidak mungkin mengubah harga menjadi Rp 9,2.
Hal tersebut juga kemudian menjadikan harga dibulatkan ke atas, misal menjadi Rp 10. Dampaknya, akan ada banyak barang yang harganya naik secara signifikan.
Banyak negara lain yang gagal
Bhima meminta agar pemerintah belajar dari kegagalan redenominasi beberapa negara yang gagal, seperti Brasil, Rusia, serta Argentina.
Diketahui, kegagalan terjadi karena kurangnya persiapan teknis, sosialisasi, kepercayaan terhadap pemerintah yang rendah, serta ekonomi yang mengalami tekanan eksternal.
Menurut Buima, jumlah penduduk dan juga unit usaha di Tanah Air cukup besar, butuh sekitar 10-15 tahun persiapan sejak regulasi redenominasi dibuat.
Bhima juga memperingatkan, momentum pemulihan ekonomi seperti saat ini baiknya tidak ada kebijakan yang kontraproduktif.
Hal tersebut dikarenakan penyesuaian terhadap nominal baru dapat mempengaruhi administrasi dan akuntansi puluhan juta di Indonesia.
Ia menambahkan, wacana redenominasi harus dikaji lebih serius, jangan dilakukan secara tergesa-gesa, dan harus benar-benar dilakukan pada saat kondisi ekonomi sudah stabil.
Kontributor : Syifa Khoerunnisa