Suara.com - Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII) Arfianto Purbolaksono menyoroti gencarnya sosialisasi partai politik (parpol) yang dilakukan sebelum jadwal kampanye Pemilu 2024 dimulai.
Kondisi tersebut menyebabkan polemik di tengah publik. Apalagi setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang membuat calon legislatif (caleg) bebas memasang spanduk, baliho hingga poster di sejumlah tempat strategis. Hal tersebut juga menjadi faktor lemahnya implementasi PKPU tentang kampanye.
"Lemahnya implementasi PKPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye menjadikan sosialisasi menjadi ajang kampanye yang seharusnya belum dilakukan pada saatnya," paparnya dalam kajian kebijakan tengah tahun TII Center for Public Policy Research yang mengangkat topik 'Sosialisasi Peserta Pemilu dalam Kerangka Implementasi Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum Jelang Pemilu 2024.'
Menurut Arfianto, ada sejumlah persoalan dalam implementasi PKPU Nomor 33 Tahun 2018. Ia mencontohkan, adanya perbedaan antara kebijakan yang tertulis dengan implementasi kebijakan yang diambil oleh penyelenggara.
Baca Juga: PKPU 10/2023 Tidak Direvisi Jadi Tantangan Masyarakat Sipil untuk Perjuangkan Keterwakilan Perempuan
Berdasarkan fakta di lapangan, lanjutnya, banyak ditemukan bakal calon anggota legislatif (caleg) yang menyosialisasikan diri dengan media sosial selain dengan memasang baliho atau alat peraga lain.
"Dengan demikian, hal tersebut memicu persaingan ketat di internal partai politik yang membuka ruang bagi para bakal caleg untuk berlomba memperkenalkan diri kepada pemilih," jelasnya.
Selain itu, ia mengemukakan, ada sebagian bakal caleg yang telah memasang alat peraga cukup besar tanpa harus menunggu menjadi caleg, apalagi menunggu masa kampanye.
Arfianto mengatakan ada beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan berdasarkann kajian tengah tahun TII. Pertama, mendorong KPU dan Bawaslu membuat definisi yang jelas tentang sosialisasi di luar masa kampanye.
"Hal ini penting, karena dengan memberikan definisi yang jelas terkait sosialisasi di luar masa kampanye dapat memberikan batasan bagi peserta serta dapat di implementasikan baik secara pengaturan dan pengawasan oleh organisasi pelaksana di struktur organisasi KPU dan Bawaslu di tingkat daerah," ujarnya.
Baca Juga: PKPU 10/2023 Wujud Kemunduran Regulasi Keterwakilan Perempuan
Ia mendesak KPU dan Bawaslu untuk mempertimbangkan perkembangan dinamika politik yang ada, misalnya memberikan kejelasan terkait sosialisasi di media sosial.
"Karena media sosial telah menjadi ruang yang banyak digunakan oleh peserta Pemilu untuk melakukan sosialisasi."
Selain itu, yang kedua menurutnya, yakni mendorong KPU membuat PKPU sosialisasi di luar masa kampanye. KPU dan Bawaslu memperkuat sosialisasi kepada perangkat kedua lembaga tersebut di tiap tingkatan.
"Hal ini penting agar adanya kesamaan persepsi di organisasi pelaksana aturan dalam mengimplementasikan aturan terkait sosialisasi. Selain itu, KPU dan Bawaslu juga perlu memperkuat sosialisasi kepada parpol peserta Pemilu agar tidak melanggar aturan yang mengatur tentang sosialisasi," ujarnya.
Kemudian yang ketiga, yakni mendorong Bawaslu melakukan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Sebagai organisasi pengawas, Bawaslu harus dapat menegakkan aturan dengan memberikan sanksi jika ada peserta Pemilu yang melanggar batasan dalam sosialisasi di luar masa kampanye yang dilakukan oleh peserta Pemilu.
"Diharapkan sanksi yang dijatuhkan bersifat administratif sehingga dapat memberikan efek jera kepada peserta pemilu yang melanggar," ujarnya.
Terakhir, mendorong penguatan masyarakat sipil untuk bersama-sama mengawasi implementasi aturan sosialisasi di luar masa kampanye. Penguatan masyarakat sipil dalam pengawasan sosialisasi di luar masa kampanye dapat dilakukan bersama Bawaslu membuat pedoman bersama.
"Hal ini penting dilakukan agar dapat diaplikasikan dalam rangka membantu Bawaslu dalam hal pengawasan sosialisasi," tuturnya.