Balada Mary Jane, Korban Perdagangan Orang yang Divonis Pidana Mati

Senin, 26 Juni 2023 | 09:14 WIB
Balada Mary Jane, Korban Perdagangan Orang yang Divonis Pidana Mati
Mary Jane saat ditemui di LPP Kelas II Yogyakarta. [Kontributor / Julianto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ditangkap di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta pada 2010 silam karena tuduhan menyelundupkan narkoba, hingga dijatuhi hukuman mati. Adalah Mary Jane Veloso, wanita asal Filipina yang menjadi korban perdagangan manusia oleh sindikat.

SUDAH 13 tahun Mary Jane mendekam di Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas Perempuan Kelas II B Yogyakarta, Wonosari, Gunungkidul. Ia divonis pidana mati oleh Pengadilan Negeri Sleman akibat kedapatan membawa heroin sebanyak 2,6 kilogram dalam sebuah koper di Bandara Adi Sutjipto.

Sejak saat itu, Mark Daniel Candelaria dan adiknya, Mark Darren Candelaria harus tumbuh tanpa Ibunya. Saat itu, pada 2010, Daniel masih berusia 7 tahun dan Darren yang masih bayi, berusia 1 tahun 3 bulan menjadi tanggungan nenek dan kakeknya, Celia Veloso dan Caesar Veloso.

Baca Juga: Skandal Penjualan Manusia: Biduan Ponorogo Terlibat dalam Modus Pengiriman TKI ke Australia

Mary Jane yang dijadwalkan untuk dieksekusi mati pada 29 April 2015 lalu mendapat keajaiban. Sehari sebelum dieksekusi, Maria Cristina Sergio menyerahkan diri kepada penegak hukum Filipina dan mengakui sebagai orang yang merekrut Mary Jane sebagai pekerja migran. Hal itu membuat usia Mary Jane bisa diperpanjang karena eksekusi mati ditunda.

Meski begitu, Mary Jane yang menjadi korban perdagangan manusia oleh Maria Cristina masih belum bisa bernapas lega. Hukuman mati masih membayanginya. Rasa pilunya bertambah karena jauh dari keluarga di Filipina.

Daniel merasa bahagia bisa kembali melihat ibunya yang terkurung di penjara. Bersama nenek, kakek, dan adiknya, Daniel mendapatkan kesempatan untuk bertemu Mary Jane setelah lima tahun tidak berjumpa.

Menurut kesaksian Celia, Mary Jane tidak terlihat getir saat hampir dieksekusi pada 2015 lalu. Perempuan 38 tahun itu tak kuasa menahan air matanya saat bertemu kedua buah hatinya, Daniel dan Darren. Tangis mereka pecah saat berpelukan.

“Saya sangat senang karena saya bisa melihat anak perempuan saya dan dia bisa bertemu dengan anak-anaknya. Saya tahu dia sangat merindukan anak-anaknya. Saya juga merindukannya tetapi dia lebih merindukan anak-anaknya, sehingga saya lebih banyak memberikan waktu untuk mereka,” kata Celia dalam Bahasa Tagalog saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (21/6/2023) pekan lalu.

Baca Juga: Komentari Kasus TPPO yang Melibatkan Petugas Imigrasi, Dirjen Imigrasi Kemenkumham Soroti Hal Ini

Anak beserta ayah dan ibu Mary Jane, Mark Daniel Candelaria (anak sulung), Celia Veloso (Ibu) dan Caesar Veloso (ayah) saat ditemui di Jakarta pada Rabu (21/6/2023). [Suara.com/Dea]
Anak beserta ayah dan ibu Mary Jane, Mark Daniel Candelaria (anak sulung), Celia Veloso (Ibu) dan Caesar Veloso (ayah) saat ditemui di Jakarta pada Rabu (21/6/2023). [Suara.com/Dea]

Daniel mengaku tidak bisa melepaskan pelukan Ibunya. Rindu seorang anak yang bertahun-tahun tak bertemu Ibunya. Mereka terakhir bertemu lima tahun lalu. Setelah mendapatkan dukungan dari Kedutaan Filipina dan pendampingan dari Migrante Internasional, Daniel bisa kembali bertemu dengan Ibunya.

“Ketika saya mendengar bahwa saya berkesempatan untuk mengunjungi ibu saya lagi, saya sangat senang karena bisa memeluk dan menciumnya. Terima kasih kepada banyak pihak yang membantu kami mewujudkan pertemuan ini. Saat masuk ke Lapas, saya sangat bersemangat melihat Ibu saya di sana. Dia memeluk kami dan meminta kami untuk tidak menangis,” tutur Daniel.

Saat menceritakan pengalamannya bertemu dengan putrinya, Caesar Veloso tak mampu membendung air matanya. Dia mengenang kala memeluk Mary Jane dan menangis. Putrinya itu memintanya untuk tidak bersedih. Namun, Caesar justru makin merasa sedih ketika melihat anaknya yang kurang sehat saat ini.

“Saya meminta dia untuk menjaga diri dan melakukan pemeriksaan kesehatan karena ada banyak orang yang mendukungnya,” kata Caesar.

Sejak Mary Jane di penjara, Celia dan Caesar harus bekerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan hidup dua cucunya. Keduanya mejadi pekerja di ladang serta mengumpulkan botol dan plastik bekas untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Celia mengatakan kehidupannya sangat sulit. Terlebih, tidak ada Mary Jane yang bisa membantu mereka menghidupi Daniel dan Darren.

Keadaan itu diperparah dengan kondisi Celia dan Caesar yang makin menua. Keduanya kini mengalami masalah-masalah kesehatan sehingga tidak mampu lagi bekerja. Kehidupan mereka saat ini hanya mengandalkan kakak-kakak Mary Jane yang juga menjadi pekerja migran.

“Kami harap Mary Jane bisa segera pulang agar bisa mengurus anak-anaknya. Saya dan suami saya sudah sakit-sakitan seperti diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung. Saya khawatir saat saya dan suami saya meninggal dunia, tidak ada yang mengurus cucu-cucu saya,” ucap Celia.

Kehadiran keluarga Mary Jane bukan sekadar untuk melepas rindu. Tetapi juga memperjuangkan kebebasannya karena dia menjadi korban perdagangan manusia. Hingga saat ini, peradilan kasus perdagangan manusia yang menjadikan Maria Cristina sebagai terdakwa masih berlangsung di Filipina. Namun, Mary Jane yang menjadi saksi kunci dalam perkara tersebut belum bisa memberikan keterangan di muka pengadilan.

Padahal, jika terbukti Mary Jane sebagai korban perdagangan manusia, dia terbebas dari jeratan hukuman mati. Keluarga Mary Jane berharap Presiden Joko Widodo memberikan grasi atau setidaknya memberikan kesempatan kepada Mary Jane untuk menyampaikan kesaksiannya dalam pengadilan di Filipina.

Cinta di Balik Jeruji

Mark Daniel menuturkan bahwa Ibunya hidup dengan baik di balik jeruji. Mary Jane diketahui pandai memainkan piano dan gitar. Selain itu, Mary Jane juga kerap menghabiskan waktunya dengan membatik dan merajut. Pada kunjungannya kali ini, Daniel berkesempatan untuk melihat karya-karya yang dibuat sang Ibu.

Mary Jane saat ditemui di LPP Kelas II Yogyakarta. [Kontributor / Julianto]
Mary Jane saat ditemui di LPP Kelas II Yogyakarta. [Kontributor / Julianto]

“Semua orang baik padanya di penjara, bahkan para polisi. Mereka semua peduli dan sayang padanya. Kalau ada pengunjung lain yang datang ke Lapas, dia diminta untuk menghibur mereka dengan menari,” kata Daniel.

Menurut dia, kisah Mary Jane sebagai korban tindak pidana perdagangan orang atau TPPO yang harus mendekam di penjara menjadi inspirasi untuk perempuan lain yang menjadi terpidana di Lapas. Sehingga, Mary Jane dianggap menyenangkan oleh teman-temannya di penjara.

Ketika harus hidup terpisah jauh dari anak-anaknya, lanjut Daniel, Mary Jane kerap menghubunginya melalui sambungan telepon dengan aplikasi WhatsApp. Namun, komunikasi mereka terbatas karena Mary Jane hanya diperbolehkan menghubungi keluarganya selama lima menit.

Mark Daniel mengaku kerap mendapatkan pesan dari Ibunya untuk sekolah dengan baik, menjaga adiknya, mengonsumsi makanan sehat dan jangan mengkhawatirkannya. Sebab, Mary Jane sering menyampaikan bahwa kehidupannya di penjara cukup baik dengan orang-orang yang peduli padanya.

Bukan hanya untuk kedua putranya, Mary Jane juga sering mengingatkan kedua orang tuanya untuk menjaga kesehatan. Menurut Caesar, Mary Jane beberapa kali meyakinkannya bahwa putrinya itu akan segera bebas dan kembali ke Filipina setelah terbukti dirinya hanya korban TPPO.

Anak beserta ayah dan ibu Mary Jane, korban perdagangan orang yang divonis mati, yakni Mark Daniel Candelaria (anak sulung), Celia Veloso (ibu). [Suara.com/Dea]
Anak beserta ayah dan ibu Mary Jane, korban perdagangan orang yang divonis mati, yakni Mark Daniel Candelaria (anak sulung), Celia Veloso (ibu). [Suara.com/Dea]

Selama 13 tahun berada di lapas, Mary Jane kini sudah bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Bahkan, dia gemar membatik yang bisa dijual. Hasil penjualan batik itu dia tujukan untuk membantu keluarganya di Filipina. Namun, Daniel mengaku menolak uang pemberian Ibunya.

“Ketika dia bilang mau kasih uang, katanya itu uang tabungannya yang enggak dia pakai dari hasil membuat batik. Tapi saya tegaskan ke dia bahwa uang itu untuk keperluannya saja, tak usah diberikan kepada kami,” ujar Daniel.

Chairperson Migrante International, Joanna Concepcion menjelaskan bahwa uang hasil penjualan batik yang dibuat Mary Jane tidak banyak. Selain itu, uang yang dihasilkan juga tidak seluruhnya diberikan kepada Mary Jane tetapi juga menjadi pendapatan Lapas.

“Sekadar informasi, ketika orang membeli batik dari Mary Jane di Lapas, dia sebenarnya hanya dapat sedikit uang dan sisanya untuk Lapas,” ungkap Joanna.

Melawan Perdagangan Manusia

Menurut Joanna, banyak pihak yang mendukung kebebasan Marry Jane. Sebab, dukungan terhadap Mary Jane bukan hanya dukungan untuk terpenuhinya hak asasi manusia (HAM), tetapi juga perlawanan terhadap sindikat perdagangan manusia. Peradilan perkara perdagangan manusia di Filipina disebut berjalan dengan sangat lambat karena Mary Jane sebagai saksi kunci yang dianggap bisa membebaskannya dari putusan hukum di Indonesia belum bisa menyampaikan kesaksian.

“Kami memperjuangkan hak Mary Jane untuk memberiksan kesaksian, berpartisipasi dalam proses hukum di Filipina sebagai korban perdagangan manusia. Tapi seperti yang kita tahu ini adalah kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya, kasus bersejarah di mana dia menjadi korban perdagangan manusia yang ingin memberikan pernyataan tetapi dia di penjara dan divonis hukuman mati,” tutur Joanna.

Untuk itu, dia mendorong pemerintah Indonesia dan Filipina untuk bersepakat agar Mary Jane bisa memberikan kesaksiannya. Hal ini diperlukan segera karena jika Maria Cristina divonis bersalah, kondisi itu akan kembali membuka kasus Mary Jane di Indonesia.

Joanna ingin membuktikan bahwa Mary Jane adalah korban dalam hal ini melalui pengadilan di Filipina. Sebab, hal itu akan membuat vonis terhadap Mary Jane dihapus. Dia berpandangan bahwa situasi ketika Mary Jane membawa heroin ke Indonesia disebabkan oleh statusnya sebagai korban perdanganan manusia saat menjadi pekerja migran.

Mary Jane saat ditemui di LPP Kelas II Yogyakarta. [Kontributor / Julianto]
Mary Jane saat ditemui di LPP Kelas II Yogyakarta. [Kontributor / Julianto]

Dia bersama sejumlah organisasi lainnya di Filipina telah mengadvokasi agar pemerintah Filipina kembali mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Jokowi yang sempat ditolak. Joanna mengaku kecewa karena Presiden Filipina Bongbong Marcos tidak langsung mengajukan permohonan grasi kepada Jokowi saat kunjungan kenegaraannya ke Indonesia beberapa waktu lalu.

“Pemerintah Filipina seharusnya pro aktif, melobi, dan mengadvokasi Mary Jane selaku korban perdagangan manusia kepada pemerintah Indonesia. Kita enggak perlu menunggu vonis di pengadilan Filipina, kita bisa tahu dari keterangan Mary Jane, kesaksian keluarganya, bahwa dia dalam hal ini memang korban perdagangan manusia,” tegas Joanna.

Joanna menjelaskan bahwa Maria Cristina sendiri saat ini telah dinyatakan bersalah dalam dua perkara yang berbeda yaitu rekrutmen ilegal dan penipuan. Dia telah divonis hukuman pidana penjara seumur hidup. Saat ini, Maria Cristina masih menjalani kasus lain yang melibatkan Mary Jane sebagai korban yaitu perdagangan manusia.

Dukungan dari masyarakat Filipina disebut banyak mengalir untuk Mary Jane dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan komunitas gereja. Bahkan, mereka berkontribusi untuk mendukung kehidupan anak-anak Mary Jane.

“Baru-baru ini, dukungan dari komunitas gereja berupa fasilitas untuk pendidikan Mark Daniel yang baru saja menyelesaikan masa SMA. Setelah itu, dia akan masuk sekolah memasak,” ucap Joanna.

Selama ini, lanjut dia, para organisasi dan komunitas gereja yang mendukung Mary Jane telah banyak berkontribusi untuk kehidupan anak-anak Mary Jane dari waktu ke waktu selama 13 tahun terakhir.

Perjuangan Keluarga

Keluarga Mary Jane tidak gentar meskipun pengajuan kembali (PK) terhadap putusan vonis mati telah ditolak oleh Mahkamah Agung di Indonesia. Bahkan, grasi yang pernah diajukan oleh pemerintah Filipina juga telah ditolak oleh Presiden Jokowi. Kali ini, mereka lebih optimis lantaran pengadilan di Filipina sedang menjalankan proses hukum terhadap kasus perdagangan manusia yang dianggap bisa membuktikan bahwa Mary Jane hanyalah korban yang tidak bersalah.

Dengan begitu, keluarga Mary Jane mengambil langkah untuk audiensi bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Komnas HAM. Mereka berharap kedua institusi ini bisa turut mendorong Jokowi mengabulkan grasi terhadap Mary Jane.

Pada Kamis, 22 Juni 2023, bersama kuasa hukum dan Migrante International, keluarga Mary Jane menemui Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Mereka menyampaikan surat terbuka yang ditandatangani oleh lebih dari 100 organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia untuk meminta grasi terhadap Mary Jane dikabulkan.

“Kami meminta dukungan Ibu Darmawati untuk bicara dengan Presiden Jokowi tentang permintaan keluarga Mary Jane agar mengabulkan grasi karena kami percaya bahwa Mary Jane adalah korban perdanganan manusia,” kata Joanna di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (22/6) lalu.

Setelah datang ke KemenPPPA, keluarga Mary Jane langsung menyambangi Komnas HAM untuk melakukan audiensi. Hasilnya, Komnas HAM sepakat untuk mengeluarkan rekomendasi kepada presiden agar memberikan grasi untuk Mary Jane.

“Komnas HAM akan memberikan rekomendasi agar ini diberikan grasi atas dugaan kuat dia sebagai korban TTPO,” kata anggota Komnas HAM Anis Hidayah.

Menurut Anis, Mary Jane adalah korban TPPO dan sindikat narkoba yang kerap terjadi pada pekerja migran sehingga tidak bisa dinyatakan bersalah. Hal itu diyakini Anis setelah berkomunikasi dengan Komnas HAM Filipina.

“Katanya, pengadilan (TPPO) masih berlangsung dan belum vonis akhir dan kami sedang menjadwalkan pertemuan dengan Kedutaan Filipina di Indonesia,” ucap Anis.

Berawal dari Tawaran Pekerjaan

Kuasa Hukum Mary Jane untuk kasus peredaran narkoba di Indonesia, Agus Salim menjelaskan bahwa Mary Jane bertemu dengan Maria Cristina setelah mendapatkan tawaran untuk bekerja di Malaysia dari tetangganya. Kala itu, Mary Jane tidak punya pekerjaan usai pulang dari Dubai.

Kemudian pada April 2010, Mary Jane tiba di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta dengan membawa heroin seberat 2,6 kilogram dalam sebuah koper yang diduga miliki Maria Cristina.

“Mary Jane pada saat itu tidak tahu berat kopernya seperti apa karena di rumah dia enggak pernah ada koper. Karena sudah diisi beberapa pakaian, Mary Jane tinggal disuruh masukan pakaian yang dibawa dari kampungnya untuk dimasukan dan disatuin dalam koper itu. Jadi, enggak ada waktu lagi untuk melihat koper itu karena koper itu diberikan menjelang akan berangkat,” tutur Agus.

Mary Jane peringati Hari Kartini di LP Kelas IIA Yogyakarta, (21/4). (Antara/Yeyen)
Mary Jane peringati Hari Kartini di LP Kelas IIA Yogyakarta, (21/4). (Antara/Yeyen)

Dengan begitu, Mary Jane menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Sleman dengan putusan hukuman pidana mati. Persidangan tersebut diketahui berjalan dengan berbahasa Indonesia ketika Mary Jane belum bisa bahasa Indonesia. Menurut Joanna, saat itu Mary Jane tidak disediakan penerjemah bersertifikasi untuk mendampinginya menjalani persidangan.

Upaya hukum terus dilakukan ketika Agus ditunjuk oleh Kedutaan Filipina untuk mendampingi Mary Jane usai putusan pengadilan tingkat pertama. Mary Jane mengajukan upaya banding hingga PK tetapi tidak membuahkan hasil. Bahkan, Presiden Jokowi juga telah menolak grasi yang diajukan pemerintah Filipina.

Menurut Agus, Mary Jane perlu menjadi saksi dalam perkara TPPO di Filipina untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Untuk itu, saat ini pemerintah Indonesia dan Filipina disebut-sebut masih mendiskusikan teknis penyampaian kesaksian Mary Jane.

“Awalnya kan pengadilan Filipina meminta agar Mary Jane bisa memberikan kesaksian di yurisdiksi Filipina di pengadilan sendiri atau kalau tidak, dibawa ke kedutaan. Kedutaan Filipina yang di Jakarta itu juga salah satu opsi, cuma itu juga kayanya pemerintah indonesia tidak memberikan izin,” ucap Agus.

Saat ini, kata dia, tim kuasa hukum Mary Jane tengah melakukan kajian terhadap berkas-berkas perkara untuk kembali mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Jokowi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI