Suara.com - Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan Indonesian Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah meminta, Polri buka-bukaan soal dokumen pengadaan alat sadap yang terindikasi 'pegasus.'
"Kami sebenarnya mendesak agar kepolisian untuk buka sejumlah dokumen pengadaan, yang terutama yang telah dipublikasikan oleh teman-teman Indonesialeaks," kata Alamsyah saat menggelar konferensi pers secara daring, Selasa (20/6/2023) kemarin.
Liputan kolaborasi Suara.com bersama sejumlah media yang tergabung dalam IndonesiaLeaks menyebut, diduga pegasus sudah masuk ke Indonesia.
Alat itu menjadi kontroversi sebab berpotensi disalahgunakan sehingga mengancam kebebasan demokrasi. Pegasus dapat digunakan melakukan penyadapan, tanpa disadari pihak yang ditarget atau dengan sebutan 'zero click'.
Baca Juga: Dua Tokoh Politik Indonesia Diduga Menjadi Korban Alat Sadap Pegasus Buatan Israel, Siapa Saja?
"Bagaimana kemudian ternyata alat sadap ini juga menjadi salah satu masalah besar begitu dalam kerja-kerja penguatan demokrasi di Indonesia," kata Alamsyah.
Penelusuran IndonesiaLeaks, Polri pernah tercatat memesan alat itu. Pemesanan dilakukan dua kali, 2017 dan 2018. Alamsyah menyebut, Polri tidak pernah mengungkap ke publik peruntukan pengadaan alat yang dibelinya.
"Kami tidak pernah mendapatkan informasi kejelasan, apa sebenarnya barang yang dibeli oleh kepolisian, lalu kemudian Siapa yang menggunakan dan apa saja peruntukan," kata dia.
Oleh sebab itu, ICW berencana meminta dokumen pengadaan kepada kepolisian, sebagai pertanggungjawaban anggaran yang dipergunakannya.
"Kami akan meminta dokumen pengadaan kepolisian, sebagai tindak lanjut untuk meminta pertanggungjawaban terhadap kepolisian, atas penggunaan anggaran yang digunakan begitu, dan sebenarnya ini pembentukannya siapa aja," ujarnya.
"Kalau kita lihat-kan penggunaannya itu katanya untuk terorisme narkotika dan lain-lain, dan kita tidak pernah mengetahui secara pasti dan jelas," sambungnya.
ICW mewanti-wanti alat tersebut tidak digunakan jelang Pemilu 2024 mendatang, demi kepentingan politik.
"Jangan sampai kemudian, penggunaan alat tersebut disalahgunakan, apalagi misalkan konteks tahun depan menuju Pemilu begitu. Jangan sampai kemudian ini juga dijadikan sebagai instrumen begitu, untuk misalkan posisi dan lain-lain," tegasnya.
Soal Pegasus
Menurut laporan Citizen Lab dan Amnesty International disebutkan, Pegasus dapat memecahkan komunikasi yang terenkripsi dari iPhone, Mac, Android, dan semua perangkat elektronik berbasis OS lainnya.
Pegasus identik dikenal sebagai alat yang bersifat zero click, sebuah metode penyadapan yang tidak memerlukan aktivasi klik dari pemilik telepon pintar maupun perangkat komputer.
Zero click merupakan serangan yang tidak tampak. Setiap pengguna tidak akan menyadari bahwa sedang diserang oleh alat pegasus. Pegasus tidak seperti perangkat lunak peretasan lainnya yang mengharuskan pengguna untuk mengklik lampiran atau tautan berbahaya yang juga disebut one click.
Metode one click merupakan serangan yang mengharuskan pengguna telepon maupun komputer harus mengklik tautan, dokumen, video, maupun foto. Setelah itu, pelaku akan memperoleh akses untuk masuk ke dalam perangkat yang digunakan.
Dalam laman penelusuran situs pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Polri, kepolisian pernah tercatat memesan alat yang diduga produk NSO Group, perusahaan asal Israel yang memproduksi pegasus.
Kemudian pada di laman Layanan Pengadaan, tercatat ada tender pengadaan peralatan dan materiil khusus Direktorat Intelkam berupa alat penyadapan yang menggunakan sistem instruksi tanpa klik atau zero click instruction system yang dilakukan Polda Metro Jaya pada 2017. Nilai pagu sementara yang ditetapkan sebesar Rp 99,1 miliar.
Pengadaan kedua kemudian dilakukan Mabes Polri, yakni tender almatsus pengembangan zero click intrusion system (IOS) dengan menggunakan Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN) pada 2018. Nilai pagu sementara yang ditetapkan mencapai Rp 149 miliar.
Tender kedua alat tersebut, belakangan diketahui dimenangkan PT Radika Karya Utama.