Suara.com - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan telah selesai dilakukan oleh Komisi IX DPR RI bersama pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Rapat kerja tersebut digelar pada Senin (19/6/2023) dan diakhiri dengan pembacaan pendapat akhir RUU Kesehatan dari sembilan fraksi.
Hasilnya, tujuh dari Sembilan fraksi menyetujui agar RUU Kesehatan dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Namun perjalanan pembahasan RUU Kesehatan diwarnai sejumlah polemik. Apa saja polemik tersebut? Berikut ulasannya.
Baca Juga: Bertemu Kaisar Naruhito, Puan Tekankan Pentingnya Hubungan Generasi Muda RI-Jepang
Ditolak karena dianggap bermasalah
RUU Kesehatan sempat ditolak oleh organisasi profesi bidang Kesehatan, karena tersebut berpotensi melemahkan perlindungan dan kepastian hukum tenaga Kesehatan.
Selain itu, RUU tersebut dianggap bermasalah karena menyebutkan dokter dapat digugat secarapidana atau perdata, meski Sudha menjalani sidang disiplin.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan, RUU Kesehatan dibahas terburu-buru dan tidak memperhatikan masukan dari organisasi profesi.
Organisasi profesi Kesehatan gelar aksi untuk rasa
Baca Juga: Dibawa ke Paripurna, Legislator Jamin RUU Kesehatan Akomodasi Kepentingan Masyarakat
Karena dinilai bermasalah, sejumlah organisasi profisi bidang Kesehatan menggelar aksi unjuk rasa pada Senin (8/5/2023) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Unjuk rasa itu diikuti oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan, daripada terus menerus membuat undang-undang baru, sebaiknya pemerintah dan parlemen memperhatikan masalah Kesehatan lainnya yang masih perlu dibenahi.
Muncul ancaman mogok massal
Jika RUU Kesehatan disahkan menjadi undang-undang, maka lima organisasi profesi Kesehatan akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi, ia tidak menginginkan adanya aturan yang dapat merugikan profesi Kesehatan dan masyarakat luas.
Tak hanya mengajukan judicial review, muncul juga opsi melakukan mogok massal tenaga Kesehatan bersama organisasi lainnya.
"Opsi mogok tetap jadi satu pilihan yang akan mungkin bisa kami lakukan. Itu sebuah hal yang saya kira perlu jadi perhatian," jelas Adib dalam konferensi pers di kantornya, Senin (19/6/2023).
Dua fraksi menolak RUU Kesehatan
Meski telah sepakat dilanjutkan ke Sidang Paripurna, tidak semua anggota DPR RI yang menyetujui RUU Kesehatan.
Ada dua fraksi yang menolak RUU tersebut, yakni fraksi Demokrat dan PKS. Demokrat menyoroti mengenai penghapusan mandatory spending atau tenaga medis asing.
Sementara PKS menilai pengesahan RUU Kesehatan dilakukan dengan terburu-buru, sehingga pembahasannya tidak maksimal.
Dinilai akan rugikan petani tembakau
Salah satu pasal dalam RUU Kesehatan adalah Pasal 154. Anggota DPR RI Vita Ervina secara khusus menyoroti pasal tersebut.
Dalam pasal tersebut disebut kalau zat adiktif pada olahan tembakau sejajar dengan narkotika dan psikotropika.
Menurut dia, ketentuan ini bisa merugikan para petani tembakau. Bahkan, lanjutnya, petani tembakau bisa dikambinghitamkan dari banyaknya penyakit dan kematian yang paling banyak menyedot dana Kesehatan.
Kontributor : Damayanti Kahyangan