Hal ini, kata dia, sejalan dengan prinsip atau kaidah pemerintahan sistem presidensialisme, yang tekanannya agar seorang kepala negara hanya boleh di berhentikan dengan alasan hukum dan tidak boleh dengan sangkaan secara politis.
"Apalagi jika melihat konfigurasi politik yang ada di parlement saat ini, kelihatannya tidak mudah, apalagi secara hukum desain kelembagaan impeachment sengaja dibuat agar tidak mudah seorang kepala negara di jatuhkan," sambung Fahri.
Lebih lanjut, dia mengatakan hal itu bisa dicermati dari mekanisme pengambilan keputusan secara kelembagaan yang sengaja didesain sedemikian rupa agar tidak dengan mudah parlemen mendorong usulan penakzulan, baik ke Mahkamah Konstitusi ataupun ke MPR untuk digelar sidang istimewa.
Terlebih, rumusan norma konstitusional mengatur bahwa pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
"Ketika proses itu harus berakhir di MPR, maka tentunya mekanisme pengambilan keputusan secara kelembagaan di MPR yang teramat berat sesuai rumusan serta konstruksi normanya," ujar Fahri.
Dia menjelaskan, keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3 per 4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2 per 3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
"Saya berpendapat biarlah wacana yang dilontarkan oleh Prof Denny Indrayana secara akademik dapat dimaknai sebagai 'academic discourse' dan secara politik agar anggota DPR RI menyikapinya sesuai kewenangan konstitusional yang ada, tetapi secara politis saya berpendapat ini tidak mudah dan rumit," tandas Fahri Bachmid.
Sebelumnya, Denny Indrayana mengirimkan surat untuk DPR agar menggunakan hak angketnya memeriksa Jokowi dan memakzulkannya sebagai presiden.
Adapun alasan yang Denny sampaikan atas permintaannya ialah adanya indikasi penjegalan Anies Baswedan di Pilpres 2024.
Baca Juga: Terus Gaungkan Pemakzulan Jokowi, Denny Indrayana: Dia Langgar Etika juga Konstitusi
Kemudian, dia juga menyoroti sikap Jokowi yang seakan diam saja ketika KSP Moeldoko mencoba mendongkel Partai Demokrat.