Suara.com - Kasus pemerkosaan terhadap ABG 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah (Sulteng) masih berjalan dan menerima sorotan publik. Sebanyak 10 orang sudah ditetapkan menjadi tersangka, di mana dua di antaranya berprofesi sebagai guru serta kepala desa (kades).
Satu pelaku yang merupakan anggota Brimob, belum disangkakan karena tak ada cukup bukti. Sementara itu, kronologi atas kejadian memilukan ini turut disampaikan oleh Kapolda Sulteng.
Irjen Agus Nugroho selaku Kapolda Sulteng mengungkapkan bahwa korban dan 10 tersangka memang saling mengenal. Perkenalan ini bisa terjadi karena orang-orang itu biasa berkumpul di bekas sebuah rumah adat, tempat di mana korban bekerja sebagai pelayan.
Adapun pekerjaan spesifik korban adalah memasak. Korban juga disebut menerima gaji dari salah satu tersangka berinisial ARH, yang merupakan seorang PNS guru SD.
Baca Juga: Dear Kapolda Sulteng, Ini Beda Pemerkosaan, Persetubuhan dan Eksploitasi
"Jadi, antarpelaku dengan korban saling mengenal. Clear ya," ujar Agus dalam konferensi pers di Polda Sulteng, Rabu (31/5/2023).
Korban awalnya melakukan hubungan intim dengan pria berinisial F yang kala itu menjadi pacarnya. Alasannya mau menerima ajakan tersebut lantaran diiming-imingi uang.
F kemudian menceritakan pengalaman ini ke orang lain hingga mereka juga berkeinginan untuk menyetubuhi korban. F bahkan menyampaikan bahwa korban bisa dibayar dengan uang. Dari situ, para pelaku mulai menawarkan imbalan. Tak terkecuali ponsel dan tanggung jawab jika hamil.
"Korban mau mengikuti keinginan F karena diiming-imingi sejumlah uang. Celakanya, saudara F yang sebelumnya pacar dari korban menginformasikan hal ini kepada teman-temannya yang lain yang biasa mangkal di bekas rumah adat tersebut, (dan berkata korban) bisa dibayar dengan uang," jelas Agus.
"(Para pelaku) Ada yang akan memberikan sebuah handphone, memberikan baju, bahkan sampai berani mengatakan seandainya korban hamil, dia siap bertanggungjawab menikahinya," lanjutnya.
Baca Juga: Mengapa Oknum Polisi dalam Kasus Pemerkosaan ABG di Sulteng Belum Jadi Tersangka?
Agus memastikan bahwa dalam kasus ini, tidak ada transaksi seperti prostitusi karena para pelaku menyetubuhi korban usai menerima informasi dari tersangka F.
Adapun peristiwa itu terjadi sejak April 2022 sampai Januari 2023. Karena itu, menurutnya kasus itu tidak tepat disebut sebagai pemerkosaan bergilir. Sebab, pelaku melakukannya dalam waktu yang berbeda-beda.
Di sisi lain, 3 dari 10 tersangka masih berstatus buronan dan diminta agar segera menyerahkan diri.
Kronologi Versi Korban
Sebelumnya, kronologi kejadian sempat diungkap oleh korban sendiri. Korban pada Juli 2022 mendatangi posko bencana banjir di Parigi Moutong, Sulteng untuk memberikan bantuan logistik.
Di sana, korban berkenalan dengan para pelaku. Saat itu korban tidak langsung kembali ke kampungnya di Poso karena dijanjikan pekerjaan di sebuah rumah makan oleh mereka. Setelahnya, satu per satu dari total 11 pelaku mulai melakukan pemerkosaan dengan beragam modus.
Beberapa di antaranya menawarkan narkoba jenis sabu dan bahkan ada yang mengancam korban dengan senjata tajam. Korban yang kala itu berusia 15 tahun, mengaku mengikuti temannya yang berinisial YN untuk bekerja di Kabupaten Parimo dan menjadi stoker di Rumah Adat Kaili Desa Taliabo, Kecamatan Sausu.
Korban pun kemudian mengalami kekerasan seksual dari 11 pelaku yang sebagian merupakan anggota Brimob, kades, hingga guru.
Tak tahan dengan hal itu, korban memberanikan diri untuk menceritakan apa yang dialaminya kepada orang tuanya pada Januari 2023. Setelah mendengar cerita dari sang anak, ayah dan ibu korban melapor ke ke Polres Parimo pada 25 Januari.
Ayah korban mengklaim bahwa ada banyak keluarga pelaku yang mendatanginya untuk berdamai dengan memberikan sesuatu. Namun, ia menolak tawaran tersebut karena apa yang dialami putrinya dinilai tak bisa selesai dengan damai.
Ayah korban juga mengaku sempat dihubungi melalui telepon oleh kades berinisial HR yang kekinian sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh polisi.
Dalam komunikasi itu, sang kepala desa meminta maaf dan menyatakan bersedia menikahi korban. Namun, ayah korban dengan tegas menolaknya. Ia lebih menginginkan para pelaku menerima hukuman seberat-beratnya agar bisa merasakan penderitaan yang dialami anaknya sebagai korban pelecehan seksual.
Sementara itu, disampaikan Kapolres Parimo AKBP Yudy Arto Wiyono, aksi bejat para pelaku dilakukan berulang kali di lokasi dan waktu yang berbeda-beda. Korban juga, lanjutnya, mengaku mengalami kekerasan seksual hingga Januari 2023 yang membuatnya mengalami trauma.
Parahnya lagi, korban disebut-sebut menderita gangguan reproduksi berupa tumor ganas yang mengharuskannya menjalani operasi angkat rahim.
Kontributor : Xandra Junia Indriasti