Pasang Surut Kebijakan Ekspor Pasir Laut sejak Era Megawati, Kini Dibuka Lagi oleh Jokowi

Farah Nabilla Suara.Com
Selasa, 30 Mei 2023 | 14:02 WIB
Pasang Surut Kebijakan Ekspor Pasir Laut sejak Era Megawati, Kini Dibuka Lagi oleh Jokowi
Kapal penambang pasir laut di Pulau Rupat, Bengkalis. [Rahmadi Dwi/Riauonline]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kebijakan tentang pasir laut kerap mengalami pasang surut. Saat ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sendimentasi Laut. Dalam Pasal 9 ayat Bab IV butir 2, tercantum soal dibukanya kembali aktivitas tersebut.

Meski begitu, sejumlah hal perlu dipenuhi oleh pelaku usaha. Diantaranya soal perizinan, syarat penambangan pasir laut, hingga ketentuan ekspor yang berkaitan dengan keluarnya bea cukai. Penjualan pasir laut bisa dilakukan usai menerima izin usaha pertambangan dari menteri.

Izin tersebut juga dapat diperoleh dari gubernur sesuai dengan kewenangannya. Namun, usai melewati kajian dan memenuhi syarat sesuai aturan UU. Adapun pelaku usaha itu harus yang bergerak di ranah pemanfaatan hasil sedimentasi laut.

Tak hanya itu, pelaku usaha pun wajib memperhatikan kelangsungan hidup masyarakat di sekitar lokasi kegiatan. Sementara itu, kebijakan soal pasir laut tepatnya untuk diekspor, dilarang sejak era Presiden Megawati pada tahun 2003.

Baca Juga: Setuju Jokowi Cawe-cawe Urusan Pemilu, Elite Gerindra: Sangat Tepat, Jangan Dianggap Salah

Larangan itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. SK ini diteken Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Sumarno pada 28 Februari 2003. Alasan pelarangan untuk menghindari kerusakan lingkungan yang lebih parah.

Adapun kerusakan lingkungan itu berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil. Terlebih di sejumlah daerah di Kepulauan Riau (Kepri) yang menjadi korban penambangan pasir laut. Lalu, alasan lainnya, yaitu penetapan batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura yang belum selesai.

Diketahui bahwa proyek reklamasi di Singapura memperoleh bahan baku dari pasir laut perairan Riau. Sejak tahun 1976 sampai 2002, pasir di sana dikeruk untuk membangun daratan Singapura. Adapun volume ekspor pasir sekitar 250 juta meter kubik per tahun. Pasir ini dibanderol dengan harga 1,3 dollar Singapura per meter kubik.

Aktivitas pengambilan pasir di Kepri bahkan membuat Pulau Nipah yang masih masuk wilayah Batam hampir tenggelam karena adanya abrasi. Singapura pun kian luas, lantaran reklamasi disebut-sebut sudah ada sebelum negara ini terlepas dari Malaysia dan Inggris.

Tepatnya ketika Singapura berada di zaman Kolonial Inggris atau lebih tepatnya Stamford Raffles. Saat itu, pada tahun 1819, Inggris memulai reklamasi dengan mengeruk muara Singapore River. Meski begitu, kala menjadi bagian Malaysia,  aktivitas ini di sana tidak terlalu banyak.

Baca Juga: Kontroversi Jokowi Buka Lagi Ekspor Pasir Laut, Susi Pudjiastuti Mencak-mencak

Kegiatan itu kembali aktif usai Singapura merdeka. Adapun proyek pengerukan terbesar yang pertama, yakni East Coast Reclamation atau Reklamasi Pantai Timur. Proyek dengan julukan Great Reclamation ini menyasar lahan seluas 1.525 hektar di sepanjang kawasan pantai tenggara.

Kontributor : Xandra Junia Indriasti

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI