Suara.com - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengungkap temuannya yang tak kunjung dikerjakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Bahkan, laporan ini didiamkan Pemprov selama 18 tahun sejak 2005.
Anggota V BPK RI Ahmadi Noor Supit mengatakan, sampai dengan laporan pemantauan semester II tahun 2022 ini, Pemprov DKI disebut telah menindaklanjuti 9.432 rekomendasi dari 10.931 rekomendasi atau 86,29 persen dari keseluruhan rekomendasi periode 2005-2022. Sementara 11,11 persen di antaranya belum dikerjakan.
Hal ini dikatakan Ahmadi dalam rapat paripurna penyerahan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK dan ikhtisar hasil pemeriksaan daerah (IHPD) Tahun 2022 kepada Pemprov DKI di Gedung DPRD DKI Jakarta.
"Masih terdapat 1.215 rekomendasi atau 11,11 persen yang harus menjadi prioritas untuk segera ditindaklanjuti dan terdapat 284 rekomendasi atau 2,60 persen tidak dapat ditindaklanjuti dengan alasan yang sah," ujar Ahmadi, Senin (29/5/2023).
Baca Juga: Pertahankan Tradisi Anies Raih WTP, Heru Budi Klaim Sudah Transparan Kelola Keuangan Daerah
Lebih lanjut, Ahmadi menyampaikan sejumlah temuan dalam LHP LKPD DKI Jakarta tahun 2022. Di antaranya seperti kelebihan pembayaran hingga dana Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang mengendap.
Meski demikian, dalam hasil pemeriksaan BPK, Pemprov DKI masih mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
"Tanpa mengurangi keberhasilan yang telah dicapai, BPK masih menemukan permasalahan terkait pengelolaan keuangan daerah," kata Ahmadi.
Ahmadi menyampaikan Pemprov melakukan kelebihan pembayaran atas belanja senilai Rp 11,34 miliar dan denda keterlambatan senilai Rp34,53 miliar, sehingga totalnya Rp45,87 miliar.
"Kelebihan pembayaran atas belanja senilai Rp 11,34 miliar terjadi karena adanya kelebihan perhitungan gaji dan tambahan penghasilan senilai Rp 6,39 miliar, kekurangan volume pengadaan barang/jasa sebesar Rp 4,06 miliar, kelebihan pembayaran belanja hibah dan bansos senilai Rp878 juta," ucap Ahmadi.
Pihaknya juga mencatat adanya denda keterlambatan senilai Rp 34,53 miliar. Atas permasalahan tersebut, telah dikembalikan ke kas daerah sebesar Rp 14,66 miliar.
Selanjutnya, dana mengendap bantuan sosial KJP Plus dan KJMU senilai Rp 197,55 miliar yang belum disalurkan kepada penerimanya, serta bantuan sosial pemenuhan kebutuhan dasar senilai Rp 15,18 miliar yang disebut BPK tidak sesuai ketentuan.
Masalah ketiga yakni penatausahaan penyerahan dan pencatatan aset tetap fasos-fasum belum tertib.
"Ketidaktertiban tersebut antara lain dua bidang tanah fasos fasum yang telah diterima dari pemegang Surat Izin Penguasaan Penggunaan Tanah (SIPPT) Rp 17,72 miliar berstatus sengketa, penerimaan aset fasos fasum belum seluruhnya dilaporkan oleh Walikota ke BPAD," tuturnya.
"Aset fasos fasum dikuasai dan/atau digunakan pihak lain tanpa perjanjian, pencatatan ganda aset fasos fasum dalam KIB, serta aset fasos fasum berupa gedung, jalan, saluran, dan jembatan dicatat dengan ukuran yang tidak wajar yaitu 0 m2 atau 1 m2," katanya menambahkan.
Ahmadi pun meminta Pemprov DKI segera menindaklanjuti rekomendasi perbaikan dari permasalahan-permasalahan laporan keuangan tahun 2022 ini.
"Kami berharap agar hasil pemeriksaan BPK dapat memberikan dorongan untuk terus memperbaiki pertanggungjawaban pelaksanaan APBD," katanya.