Suara.com - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo akan mengkaji usur pidana di balik informasi yang disebar Denny Indrayana soal bocoran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap gugatan uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional tertutup. Ia menyatakan akan menindaklanjuti kasus tersebut jika nantinya ditemukan unsur pidana.
"Kalau kemudian ada peristiwa pidana di dalamnya tentunya kami akan mengambil langkah lebih lanjut," kata Listyo usai menggelar Rapat Koordinasi 'Sinergisitas Pemerintah Dalam Menjaga Stabilitas Politik Dan Keamanan untuk menyukseskan Pemilu Tahun 2024' di The Westin, Jakarta Selatan, Senin (29/5/2023).
Kekinian, lanjut Listyo, pihaknya masih melakukan penyelidikan. Langkah ini diambil sesuai perintah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD.
"Sesuai dengan arahan beliau (Mahfud) untuk melakukan langkah-langkah penyelidikan, untuk membuat terang tentang peristiwa yang terjadi. Tentunya kami saat ini sedang merapatkan untuk langkah-langkah yang bisa kami laksanakan untuk membuat semuanya menjadi jelas," ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sebelumnya juga meminta Mahkamah Konstitusi mengusut pihak internal jika ada yang membocorkan putusan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait sistem proporsional tertutup. Sebab, tindakan tersebut tidak dibenarkan.
"Kalau betul itu bocor, itu salah; yang salah satu yang membocorkannya di dalam. Saya tadi sudah ke MK, supaya diusut siapa di dalam yang sudah bicara itu," kata Mahfud di The Westin, Jakarta Selatan, Senin siang.
Di sisi lain Mahfud juga meminta eks Wakil Menteri Hukum dan HAM era pemerintahan SBY, Denny Indrayana selaku pihak yang mengklaim mendapat informasi soal isi putusan MK untuk membuktikan kebenarannya.
"Denny juga supaya menjelaskan bahwa (informasi) itu benar, dan itu nanti tentu akan terlihat dalam perjalanan waktu, siapa yang benar siapa yang salah. Tapi tidak boleh sebuah putusan belum diketok, bocor ke orang," ujar Mahfud.
Mahfud sebelumnya menegaskan bahwa MK belum memutuskan gugatan uji materi atau judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional tertutup. Ia menegaskan hal tersebut usai memastikannya langsung ke MK.
Baca Juga: Mantan-mantan Ketua MK Serang Denny Indrayana: Dia Pantas Dihukum
"Saya tadi memastikan ke MK apa betul itu sudah diputuskan? Belum," tuturnya.
MK, lanjut Mahfud, baru akan menyampaikan putusannya pada Rabu (31/5) lusa. Menurutnya apa yang beredar terkait putusan MK hanyalah analisa dari pihak luar.
"Itu hanya analisis orang luar yang mungkin melihat sikap-sikap para hakim MK, lalu dianalisis sendiri. Tapi sidangnya sendiri secara tertutup baru akan dilakukan besok lusa. Jadi belum ada keputusan yang resmi," jelas Mahfud.
Klaim Denny Indrayana
Sebelumnya, Denny Indrayana mengklaim mendapat informasi terkait putusan MK tentang sistem Pemilu Legislatif yang akan kembali ke sistem proporsional tertutup atau coblos partai.
"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," kata Denny lewat cuitan di akun Twitternya @dennyindranaya, Minggu (28/5).
Dalam cuitannya, Denny juga sempat menyinggung soal sumbernya di MK. Meski tidak menjawab dengan gamblang, Denny memastikan sumbernya bukan hakim konstitusi.
"Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi," ujarnya.
MK diketahui telah menerima permohonan uji materi atau judicial review terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
Keenam orang yang menjadi Pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).
Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDI Perjuangan.