Suara.com - Pegiat Antikorupsi Aulia Postiera menyebut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan hal yang kacau dan tidak jelas.
Pernyataan tersebut disampaikan setelah gugatan yang dilakukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dikabulkan Hakim MK Anwar Usman pada Kamis (25/5/2023).
"Menurut saya, putusan MK itu kacau dan enggak jelas," kata Aulia saat dihubungi, Jumat (26/5/2023).
Sebab, saat ini berlaku Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 112/P Tahun 2019 dan 129/P Tahun 2019 tentang Pengangkatan Pimpinan KPK periode 2019-2023. Menurut mantan penyelidik KPK itu, putusan MK nomor 112/PUU-XX/2022 tidak bisa serta merta mengubah Keppres pengangkatan pimpinan KPK.
Baca Juga: Deretan Risiko yang Dikhawatirkan Terjadi Ketika Jabatan Pimpinan KPK Jadi 5 Tahun
"Putusan MK itu seharusnya bersifat prospektif, enggak bisa retroaktif. Jadi, berlaku untuk periode mendatang," ujarnya.
Terlebih, lanjut Aulia, putusan MK ini akan menjadi dasar bagi Sekretariat Negara (Setneg) dan Panitia Seleksi (Pansel) Pemilihan Pimpinan KPK yang seharusnya dibentuk tahun ini.
Menyoroti situasi pemberantasan korupsi saat ini, Aulia mengaku prhatin dan sedih dengan perilaku pimpinan KPK. Pasalnya, Firli Bahuri dan jajarannya dinilai memiliki banyak skandal pelanggaran etik dan minim prestasi.
"Apabila ternyata dipaksakan untuk memberikan perpanjangan masa jabatan bagi para Pimpinan KPK yang bermasalah ini sampai tahun depan, maka ini adalah kemenangan besar bagi koruptor dan pukulan bagi pemberantasan korupsi di Indonesia,” tutur Aulia.
Dengan begitu, hal ini disebut akan mempengaruhi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang pada 2022 lalu sudah mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya.
Sebelumnya, MK mengabulkan judicial riview soal masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun. MK juga memutuskan, batas usia menjadi pimpinan KPK tidak harus berumur 50 tahun.
Adapun gugatan soal masa jabatan dan batas usia pimpinan KPK ini sebelumnya diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada November 2022 lalu.
"Mengabulkan permohonan pemohon selurunya," kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan pada Kamis (25/5/2023).
Dalam putusan MK menyatakan, Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, 'Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan,' bertentangan dengan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, 'berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) pada proses pemilihan," kata Anwar Usman.
Pada putusan selanjutnya, MK menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi, 'Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipiih kembali hanya untuk sekali masa jabatan', bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, 'Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan," ujar Anwar Usman.
Putusan terakhir, MK memerintahkan pemuatan putusannya dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.